Sebuah bangunan bergaya lama di Kampung Gendong Utara, Semarang Timur, Kota Semarang, Jawa Tengah, menjadi saksi bisu berbagai peristiwa bersejarah. Mulai dari pidato Bung Karno hingga tercetusnya nama PKI (Partai Komunis Indonesia).
Bangunan itu berada di tengah permukiman padat, saat detikJateng berkunjung ke sana, sejumlah warga dan mahasiswa yang melakukan KKN sedang bersih-bersih. Meski dulu sempat nyaris roboh, bangunan yang dikenal sebagai Gedung Sarekat Islam (SI) kini masih dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan.
Gedung SI terdiri dari satu ruangan luas dengan sejumlah pilar kayu Jati yang menyangga. Tepat di bagian tengah ada cekungan sekitar 30 cm dan di dalamnya ada susunan tegel berbentuk huruf S dan I.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdirinya Gedung SI
Siapa sangka bangunan itu sudah berusia 102 tahun sejak selesai dibangun tahun 1920. Pelopor berdirinya gedung SI adalah Semaoen yang saat itu menjabat ketua serikat buruh kereta api dan trem (VSTP) dan juga Ketua Sarekat Islam Indonesia.
"Semaoen mencetuskan. Ia sebagai ketua Sarekat Islam Semarang, hijrah dari Surabaya ke Semarang, dia lihat tidak ada gedung yang representatif untuk pertemuan kaum pergerakan. Orang pergerakan harus sewa gedung kalau mau pertemuan, padahal punya Belanda dan Tionghoa, pasti mahal. Maka terpikir harus punya gedung, tapi tidak ada modal. Kebetulan Komisaris SI, haji Busro punya lahan 1.300 m2, mewakafkan tanahnya. Dibangun dijadikan gedung pusat pergerakan rakyat Semarang," jelas pegiat sejarah Semarang, Rukardi, Kamis (4/8/2022).
Semaoen menggagas bangunan untuk pertemuan pada tahun 1918. Setelah mendapatkan tanah wakaf, banyak pihak mulai iuran untuk membangun gedung tersebut. Iuran tidak hanya uang tapi juga bahan bangunan. Banyak donatur yang mendukung pembangunan gedung itu bahkan termasuk tokoh pergerakan berdarah Tionghoa, Lie Eng Hok.
"Jadi tidak hanya uang, ada barang dan bahan bangunan. Kalau kita lihat ini (menunjuk pilar), konteks zaman itu ini kualitas rendah, besarnya juga tidak sama. Arsitektur bangunan ini adalah orang pribumi asal Kudus yaitu Sutrisno. Desainnya tanpa biaya karena ini untuk pergerakan," ujarnya.
Tahun 1920 bangunan itu diresmikan dan Semaoen dalam pidatonya menegaskan gedung tersebut digunakan bersama dan bukan hanya milik SI dan dulu namanya adalah Gedung Rakyat Indonesia.
"Waktu itu dalam pidato peresmian Semaoen menegaskan gedung itu adalah gedung dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Ini faktual karena hasil iuran berbagai elemen, ada Budi Utomo, SI, Partindo, dan lain sebagainya," lanjut Rukardi.
![]() |
Soal tulisan SI di tengah ruangan, Rukardi menemukan catatan unik soal itu karena ternyata merupakan 'kecelakaan'. Saat diresmikan, bangunan belum benar-benar rampung karena alasnya masih tanah. Sembari digunakan, pemasangan lantai dilakukan oleh pekerja. Kemudian pekerja itulah yang berinisiatif membuat tulisan SI, padahal gedung itu milik bersama, bukan hanya Sarekat Islam.
"Saya menemukan memoarnya, ini menurut kesaksian aktivis tahun 20-an. Tulisan SI ini ternyata 'kecelakaan'. Ada tukang berinisiatif membuat inisial SI. Kemudian setelah gedung jadi ada komite pengelola gedung diketuai oleh Darsono, gimana ini sudah terlanjur, tapi kemudian tidak dipermasalahkan karena daripada bongkar maka dibiarkan saja," katanya.
Halaman selanjutnya, tempat Bung Karno berpidato garang...
Tempat Bung Karno Berpidato Garang
Gedung itu pernah dikunjungi Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir, AK Gam, Moh Yamin, Amir Syarifudin, dokter Sutomo, dan lainnya antara tahun 1930-1938. Bung Karno datang dalam rangka penggemblengan kader Partindo saat itu.
"Bung Karno datang dalam rangka penggemblengan Partindo. Bung Karno bicara berapi-api menyinggung kemerdekaan sehingga aparat PID yang hadir dalam kongres itu melarang Bung Karno bicara lagi karena dianggap bahaya. Mr Sartono menimpali, 'pembicaraan memang sudah selesai'. Bung Karno menyemangati rakyat di Semarang terutama Partindo setelah PNI dibubarkan," ujarnya.
Dikutip dari https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ , pidato Bung Karno di Gedung SI itu berbunyi, "kolonial memang kuat, siapa yang kuat itulah yang menang, tetapi yang menang belum tentu yang benar, kita anak jajahan dipandang kalah, tetapi yang kalah belum tentu yang salah, tunggu saja lampu hijau untuk perang dunia ke dua dari lautan Pasifik setelah dipejet, di situlah bangsa Indonesia akan duduk di atas singgasana kemerdekaan".
Tan Malaka juga pernah menggunakan bangunan itu untuk Sarekat Islam School pada tahun 1921. Dari Semarang, SI School kemudian membuka cabang di Bandung, Pekalongan, Batavia, Surabaya, dan lainnya.
"Sekolah Tan Malaka ini selain berikan bekal ke murid dengan ilmu untuk cari penghidupan, ilmu menulis berhitung, bahasa, tapi murid juga dibekali ilmu untuk cari nafkah, juga keterampilan misal berorganisasi. Mereka ditekankan juga punya tanggung jawab ke kaum kromo, rakyat jelata. Ini nggak diajarkan oleh kolonial, termasuk organisasi politik. Sekolah itu dibubarkan karena dianggap sekolah liar," jelas Rukardi.
Peristiwa besar lainnya yang terjadi di gedung ini yaitu digunakan oleh Tan Malaka untuk memimpin pemogokan umum hingga memacetkan perekonomian pada tahun 1922. Dari laman Kemdikbud disebutkan rapat pemogokan buruh itu dihadiri 5.000 orang. Saat itu Tan Malaka menunjukkan sikap orang Belanda yang melecehkan buruh. Ketika gerakan melemah, Tan Malaka dan P Bergsma yang berdarah Belanda namun melawan penindasan akhirnya diasingkan ke Papua karena dituduh memimpin pemogokan buruh pegadaian
Sementara itu Rukardi mengatakan, Semaoen yang memimpin buruh kereta api saat itu juga menyerukan pemogokan hingga meluas se-pulau Jawa dan berdampak besar.
"Semaoen katakan jika pemimpin buruh kereta api ditangkap maka mogok lah lebih besar. Penggalangan dilakukan di gedung ini. Terjadi pemogokan sampai lumpuh di tahun 1923. Pasar mogok, trem mogok, meluas sampai di kota lain di pulau Jawa," tegasnya.
Selanjutnya, SI Merah dan tercetusnya nama PKI...
SI Merah hingga nama PKI
Terkait sangkut pautnya Gedung SI dengan PKI, Rukardi menjelaskan, hal itu berawal dari pentolan Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV), organisasi sosial demokrat Hindia Belanda bernama Sneevliet yang mendekati Semaoen. Berjalannya waktu, pemikiran Semaoen dianggap sudah berbeda SI yang berpusat di Belanda.
"Didekati Sneevliet, pentolan ISDV, kemudian bisa ditarik. SI di Semarang jadi beda karena dapat pengaruh sosialisme. Kan jadi beda dengan SI yang lain yang berpusat di Surabaya, ada Tjokroaminoto, Abdul Muis dan Agus Salim. Mereka khawatir dengan SI Semarang yang dianggap ke kiri-kirian. Maka dibuat disiplin partai, seseorang tidak boleh punya keanggotaan ganda. Milih SI atau ISDV," jelasnya.
Terbelahlah ada SI Merah dan SI Putih. SI Merah kemudian berganti nama menjadi Sarekat Rakyat. Kemudian ISDV melakukan kongres di Gedung SI Semarang dan Sneevliet menawarkan ISDV bergabung dengan Komintern, organisasi komunis revolusioner internasional berbasis di Uni Soviet.
"Kemudian 23 Mei 1920 jadi Perserikatan Komunis Hindia. Penamaan harus ada unsur nama negara dan komunis maka jadilah PKI. Jadi nama PKI itu dari rapat di sini, Gedung SI Semarang," katanya.
Banyak peristiwa yang terjadi di Gedung SI ini termasuk ketika pertempuran Lima Hari di Semarang digunakan sebagai Palang Merah. Beberapa kali gedung ini ditutup baik oleh Belanda maupun Jepang. Bahkan gedung tersebut juga nyaris dibakar.
"Pascaperistiwa G30S ada organisasi yang menyerbu gedung ingin membakar. Dari saksi langsung ini, mantan pengurus Jabami. Saat itu gedung mau dibakar tapi warga melarang. Karena gedung ini dekat dengan permukiman," jelas Rukardi.
![]() |
Kondisi Gedung Terkini
Kepengurusan gedung sempat dipegang militer, kemudian NU dan Muhammadiyah membuat organisasi Balai Muslimin dan hingga saat ini Gedung SI dikelola Balai Muslimin.
Warga menggunakan gedung itu untuk berbagai kegiatan bahkan salat Jumat. Namun sekitar tahun 2011-2012 kondisi gedung memprihatinkan hingga muncul rencana dirobohkan. Rukardi dan pegiat sejarah saat itu berupaya agar hal itu tidak terjadi hingga akhirnya gedung diperbaiki.
"Dulu nyaris dirobohkan bahkan sudah ada gambar bangunan barunya. Kemudian akhirnya diperbaiki dan diupayakan tetap seperti aslinya," tutup Rukardi.
Sementara itu Pembina Yayasan Baitul Muslimin, Anasom, mengatakan masih banyak bagian yang asli yang tetap dijaga dari Gedung SI, namun ada beberapa yang harus diganti karena rusak parah. Meski demikian perbaikan diupayakan tidak mengubah bentuk asli.
"Soko-soko ini masih asli semua. Yang atapnya rusak sekali kemudian diperbaiki dengan yang baru jelas. Lantai ini diupayakan dengan wajah lama," kata Anasom.
Setelah diperbaiki berbagai kegiatan kembali digelar di gedung tersebut. Sempat digunakan untuk Musrenbang bahkan saat ada pemilihan umum, gedung SI juga dimanfaatkan untuk TPS.
"Jadi masyarakat sekitar boleh menggunakan dengan hati-hati," jelasnya.