Ini dapat dilihat dari berbagai penanda yang disampaikan sebagai tanda-tanda akan segera datangnya kiamat, kerusakan besar di muka bumi. Di antara yang sering diucapkan para leluhur kita dulu adalah 'lamun uripmu wus lir ngaub sangisor wawar' (jika hidupmu sudah layaknya berteduh di bawah pohon wawar).
Pohon wawar dulu banyak ditemukan di hutan-hutan alami di Jawa yang heterogen. Wawar adalah tumbuhan besar yang mirip pohon durian. Meskipun bisa tumbuh besar dan kokoh, namun pohon ini kurang memiliki banyak dahan dan daun sehingga tidak memberikan kerimbunan dan keteduhan di bawahnya.
Bagi yang pernah hidup di pedesaan Jawa sekitar hutan, pasti pernah mendapat peringatan khusus dari tetua desa. Jika bepergian dan dari kejauhan sudah terlihat pohon wawar, sebaiknya mencari jalan lain untuk menjauhinya. Peringatan serupa juga diberikan kepada anak-anak desa yang menggembalakan ternak, diingatkan untuk tidak melepas ternaknya di dekat pohon wawar.
Peringatan itu diberikan karena biasanya di sekitar pangkal pohon wawar dijadikan sarang atau tempat istirahat salah satu jenis anjing hutan yang selanjutnya juga dinamai asu wawar. Berbeda dengan serigala yang bergerombol, anjing jenis ini biasa berburu mangsa secara soliter. Dia pemburu tunggal yang tangguh. Jika telah mendapatkan korban, tak seluruhnya dimakan. Hanya akan mengambil hati dan jeroan lunak lainnya. Setelah itu bangkai korban akan ditinggal.
Itulah penggambaran situasi hukum carut-marut yang digambarkan para tetua. Lir ngaub sangisor wawar adalah seperti mencari perlindungan (hukum) kepada lembaga hukum yang sesungguhnya tidak dapat memberikan perlindungan apapun; tidak memberikan keteduhan dan justru berisiko diterkam predator.
Yang sering disebut juga sebagai tanda-tanda akan segera datangnya kerusakan besar itu adalah situasi salah urus. Sebagian besar kerusakan di muka bumi ini terjadi oleh karena ulah orang yang merasa penting, sebagian lainnya disebabkan oleh orang-orang serakah.
Kalimat itu bisa diartikulasikan dengan mempercayakan sebuah urusan kepada yang bukan ahlinya. Orang yang bukan ahlinya namun ingin mengusai sebuah urusan pastinya adalah orang sok penting dan serakah karena ingin menguasai yang bukan haknya.
Sebagai orang beragama kita harus bisa dipercaya menjaga hukum alam, bukan merusaknya. Sebagai orang beradab kita harus tegap melawan hukum wawar. Jika tidak, kita hanya akan semakin kepanasan di bawahnya dan setiap saat diancam predator sok penting dan serakah yang akan memakan hati dan jeroan kita.
Solo, 24 Juli 2022
Muchus Budi R adalah wartawan detikcom
--Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi.
(mbr/sip)