Mengenal Urutsewu Boyolali, Desa Mandiri Energi Berkat Kotoran Sapi

Mengenal Urutsewu Boyolali, Desa Mandiri Energi Berkat Kotoran Sapi

Angling Adhitya Purbaya - detikJateng
Kamis, 30 Jun 2022 21:59 WIB
Salah satu warga Desa Urutsewu, Boyolali, memasak menggunakan biogas dari kotoran sapi.
Salah satu warga Desa Urutsewu, Boyolali, memasak menggunakan biogas dari kotoran sapi. Foto: Angling Adhitya Purbaya/detikJateng
Boyolali -

Tabung gas hijau tergeletak di pojokan dapur rumah Ngateman (39), warga Dukuh Jetak, Desa Urutsewu, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali. Tabung itu berselimut debu menandakan lama tak disentuh.

Benda itu memang sudah sekitar 4 tahun teronggok tanpa pernah digunakan. Ngateman ternyata hanya menyiapkan tabung gas itu sebagai cadangan.

Untuk memasak sehari-hari, Ngateman memang tidak membutuhkan lagi gas LPG. Dia mengandalkan instalasi biogas dari kotoran sapi yang terpasang di rumahnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini tabung buat jaga-jaga saja, tapi ternyata tidak pernah digunakan, gas dari biogas ini melimpah sekali," ujar Ngateman sembari menyulut kompor di dapur yang bersebelahan dengan kandang sapi, Kamis (30/6/2022).

Tidak tercium bau gas ketika Ngateman menyalakan kompor, apalagi bau kotoran sapi. Meski dapur dan kandang sapi bersebelahan dalam satu bangunan, Ngateman ternyata cukup terampil mengelola sirkulasi udara di kandangnya dan juga kebersihannya sehingga polusi udara berupa bau busuk nyaris tidak tercium.

ADVERTISEMENT

"Saya suka sekali kebersihan, jadi setelah ada biogas ini kotoran sapi tidak ditumpuk lagi tapi langsung ke digester. Pagi dan sore bisa saya bersihkan," ujar pria yang sudah memelihara sapi sejak kecil itu.

Digester merupakan tanki pengolah gas dari kotoran sapi. Tanki itu terpendam di bawah kandang sapinya.

Benda berkapasitas 12 m3 itu mampu menampung kotoran dari 5 ekor sapi dan mengolahnya menjadi biogas. Hasilnya bisa untuk memenuhi kebutuhan memasak di dua rumah. Usaha pembuatan tempe milik istrinya, Handayani (39) pun terbantu dengan adanya penghematan karena tidak lagi membeli tabung LPG.

"Dulu itu saya pakai kayu kalau masak, kemudian ada konversi gas LPG. Setelah itu pakai biogas ini bisa irit. Biasanya dalam sebulan bisa habis 5 tabung. Istri saya merebus kedelai pakai biogas itu. Belum pernah habis," jelasnya.

Sekali dayung tiga pulau terlampaui, Ngateman pun membeberkan berbagai manfaat dari penggunaan biogas. Selain menghasilkan gas untuk memasak, ampas dari digester itu juga menjadi pupuk organik yang bisa digunakan untuk mengolah sawahnya.

"Ya mengalir ke sawah saya dan masyarakat karena langsung ke aliran yang ke sawah. Tidak bau. Sekarang tanamannya macam-macam, ada sayur, jagung, dan cabai. Menanamnya sama itu kalau pas padi," ujarnya.

Biogas digunakan ratusan keluarga di halaman berikutnya

Ratusan Keluarga Terbantu Biogas

Ngateman bukan satu-satunya warga Urutsewu yang memanfaatkan biogas. Ada sekitar 200 Kepala Keluarga (KK) yang merasakan manfaat biogas. Di desa yang masih tergolong asri dan sejuk itu, sumber biogas bermacam-macam. Selain kotoran sapi, ada juga limbah tahu, bahkan yang memakai kotoran ayam.

"Kalau di peternak itu sudah ada 43 digester. Satu digester bisa dinikmati satu sampai enam rumah, totalnya ada 150-an, itu dari ternak. Ada juga yang dari limbah tahu, ada 5 digester, kalau dikalkulasi ya ada 200-an KK," kata Kepala Desa Urutsewu, Sri Haryanto.

Sri menerangkan, di daerah Gilingan Lor, satu digester dari limbah tahu bisa digunakan untuk 12 KK. Selain itu bisa untuk menghidupkan genset yang bakal menyalakan lampu di pinggir jalan desa, biogas juga bisa menggerakkan pompa di instalasi Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas).

"Bisa Digunakan juga untuk penerangan lampu desa, jadi dimasukkan ke genset dan menimbulkan arus listrik. Untuk Pamsimas juga. Itu ketika oglangan (mati listrik) pakai itu. Kalau dikalkulasi, kan warga di sana pakai semua, ada 50-an KK," ujarnya.

Sebagai pemimpin di desa itu, Sri bercita-cita wilayahnya bisa bebas limbah. Dari 200-an peternak, sekitar 30 persen memakai biogas. Ia menjelaskan untuk pengadaan digester hanya bisa melalui APBD dan APBN. Namun ia tidak menyerah, dengan dana desa, Sri memberikan bantuan berupa digester portable berupa drum kapasitas 200 liter yang sudah dimodifikasi dan bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan biogas dari limbah rumah tangga.

"Biogas portable Itu untuk limbah rumah tangga seperti nasi, sayur, yang dihasilkan tidak banyak karena hanya drum 200 liter. Di Dusun Jetak itu sudah mengolah sampah organik dan limbah rumah tangga," jelas Sri.

"Saya memang bermimpi Urutsewu bisa bebas limbah," imbuhnya.

Meski demikian, bukan berarti jalan yang dilalui Sri untuk mewujudkan mimpinya itu berjalan mulus. Beberapa peternak masih berupaya bertahan dengan cara lama yaitu mengumpulkan kotoran dan ditumpuk sekitar 6 bulan untuk menguapkan gasnya sebelum dijadikan pupuk.

"Masih ada yang pakai cara biasanya, merasa kalau pakai biogas pupuknya jadi hilang, padahal hasilnya lebih bagus. Biogas ternak ini juga tidak bisa dari dana desa, karena harus tanah negara, biogas ini di tanah perorangan. Maka bisanya APBD dan APBN, Kita justru biogas portable, bantuan alat yang digunakan masyarakat, maka coba kita maksimalkan," tegasnya.

Prestasi Desa Urutsewu di halaman terakhir

Program Biogas Dibantu Pemerintah

Kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Boyolali dan Pemprov Jawa Tengah sudah terjalin sejak 2012. Persiapannya butuh waktu lama hingga akhirnya bisa terwujud. Bahkan Desa Urutsewu pernah menjadi juara harapan Lomba Desa Mandiri energi tahun 2017 dan juara pertama Lomba Desa Mandiri Energi tahun 2020 lalu yang digelar oleh Pemprov Jateng.

"Prosesnya lama melewati masa penelitian. Dan ternyata tidak hanya dari limbah kotoran sapi namun juga limbah tahu,"kata Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko.

Ia menjelaskan Pemprov Jateng mendukung pembangunan digester biogas agar Energi baru Terbarukan (EBT) bisa mewujudkan kedaulatan bidang energi, pangan dan air dalam rencana strategis Pemprov Jateng. Sujarwanto menegaskan dalam tiga tahun terakhir ini pembuatan digester makin masif di berbagai daerah.

"Sebenarnya sudah cukup lama, namun dalam tiga tahun ini makin masif seiring tekad untuk memanfaatkan energi baru terbarukan. Per tahun itu dianggarkan 100 unit," jelas Sujarwanto.

Pada tahun 2020, lanjut Sujarwanto, terbangun 37 unit digester di 17 daerah di Jawa Tengah, kemudian pada tahun 2021 jumlahnya meningkat menjadi 103 unit. Tidak hanya dari APBD Pemprov Jateng, ia menyebut APBD Kabupaten/Kota ikut andil dalam mewujudkan EBT.

"Ada juga APBN Kementerian ESDM, bantuan swasta dan swadaya masyarakat. Ada yang kita berikan bahannya dan tenaga kerja serta pengelolaan dari swadaya, jadi kita kasih stimulan, modelnya tidak selalu bantuan penuh," tegasnya.

Ia berharap pengelolaan limbah menjadi energi bisa makin masif dan tentunya bisa menjadikan Desa lebih berdikari dengan mandiri energi dan pangan untuk membangun perekonomian yang lebih baik.

Halaman 2 dari 3
(ahr/apl)


Hide Ads