Kampung Bustaman merupakan salah satu kampung legendaris di Kota Semarang yang dikenal dengan profesi warganya sebagai penjagal kambing. Banyak hal menarik disana selain soal jagal-menjagal, salah satunya yaitu toilet umum yang kotorannya ditampung dan bisa untuk menyalakan kompor.
Toilet yang berada di tengah kampung di perbatasan RT 4 dan RT 5, RW 3, Kelurahan Purowodinatan, Kecamatan Semarang Tengah itu sebenarnya sudah ada sejak zaman pendudukan Belanda. Sekitar 16 tahun lalu toilet umum itu kembali berfungsi dengan semestinya bahkan memberikan manfaat lebih bagi lingkungan sekitar.
Ketua RW setempat, Ashar (49) mengakui kampung padat penduduk yang dikenal sebagai 'kampung jagal' itu dulunya kumuh hingga sering ada penyakit karena masalah buang air besar mulai dari rumah yang tidak punya tempat mandi-cuci-kakus (MCK) hingga anak-anak yang buang air besar (BAB) di selokan.
"Dulu itu sampai ada sebutan 'Pak Kumis', singkatan dari padat, kumuh dan miskin," ujar Ashar mengawali cerita, Sabtu (25/6/2022).
Pada tahun 2005, lanjut Ashar, ada kunjungan dari Pemkot Semarang dan sebuah organisasi dari Jerman yaitu Borda untuk melakukan program Sanimas. Para pengurus kampung antusias dan berusaha agar bisa mendapatkan program itu karena ada semacam kompetisi dengan daerah lain.
"Kita dapat program itu. Kerjasama dengan masyarakat, harus ikhlas robohkan bangunan Belanda agar bisa digunakan," ujarnya.
Toilet umum itu pun terbangun beserta instalasi agar kotoran bisa diolah menjadi biogas. Keberadaan toilet tersebut ternyata bisa membuat kebiasaan masyarakat di sekitarnya berubah sedikit demi sedikit. Mereka akhirnya tidak BAB sembarangan dan memanfaatkan toilet dengan 10 bilik itu.
"Terwujud bangunan 'MCK plus' di Kampung Bustaman ini. Masyarakat bisa berubah perilaku yang tadinya kumuh dan BAB sembarangan jadi tertib. Kami jaga betul kebersihannya sampai sekarang," jelasnya.
Soal biogas, lanjut Ashar, ternyata masyarakat menyambut baik. Ketika usai diresmikan tanggal 6 Juni 2006 silam, masyarakat rela antre untuk memasak di kompor yang berada di salah satu ruangan terpisah di toilet umum itu.
"Dulu sebelum ada konversi ke gas sekitar 2006-2010, disini kalau pagi sudah antre panci-panci untuk masak dengan biogas. Sampai sekarang masih digunakan ketika ada hajatan di sini, beberapa masyarakat juga masih memanfaatkan ini," ujarnya.
Ashar juga menjelaskan kenapa biogas tersebut tidak disalurkan ke rumah-rumah sekitar. Salah satunya yaitu agar tidak terjadi kesenjangan karena biogas dengan hasil dari kotoran manusia tidak sebanyak biogas dari kotoran hewan ternak atau ampas tahu, jadi hanya bisa menjangkau satu hingga dua rumah.
"Yang dihasilkan dari kotoran manusia tidak seperti sapi atau ampas tahu, ya. Mungkin hanya bisa satu atau dua rumah saja. Ini sudah 16 tahun masih bisa dipakai, lancar," katanya.
Bagaimana toilet ini bisa menghasilkan biogas? Simak di halaman selanjutnya..
Baca juga: Koalisi |
Simak Video "Video Jalan Pantura Semarang-Demak Banjir, Motor Tak Bisa Lewat"
(alg/aku)