Koalisi Pingsut

Kolom Minggu Pagi

Koalisi Pingsut

Muchus Budi R. - detikJateng
Minggu, 19 Jun 2022 07:45 WIB
Ilustrasi partai-partai yang minta jatah tambah menteri ke capres Jokowi
(Foto: Ilustrator: Edi Wahyono)
Solo -

Lakon 'Pandawa Adu Dadu' adalah kisah klasik yang amat terkenal di dunia pewayangan. Inilah lakon ketika Puntadewa masuk perangkap Duryudana dan Sangkuni untuk bersedia mempertaruhkan nasib diri, keluarga, bahkan bangsa dan negaranya di meja judi. Puntadewa akhirnya kalah oleh keculasan akal-akalan Sangkuni dan Duryudana yang memang sejak lama ingin menguasai Amarta dan seluruh kekayaannya.

Peristiwa tragis ini mengawali sebuah penderitaan berkepanjangan bagi Pandawa selama 13 tahun berikutnya, sebagai orang terbuang dan terasing. Dan akhirnya menjadi pelajaran bersama bahwa nasib dan pengelolaan negara tak pantas ditentukan layaknya menentukan pertaruhan dalam sebuah permainan.

Ya, inilah pelajaran bersama; 'Pandawa Adu Dadu'. Amat sangat tak layak ketika para petinggi penentu arah perjalanan bangsa hanya terkesima nafsu pribadi, termasuk pada nafsu kuasa tanpa mengindahkan dan mempertimbangkan matang-matang nasib rakyat yang lebih luas.

Apakah sudah selesai perilaku seperti itu? Apakah kita hanya akan menemukan kenyataan itu dalam kitab Mahabharata atau di panggung pertunjukan wayang? Tidak juga. Konon sudah lebih dari 2.500 tahun lalu Rsi Viyasa menulis wiracarita Mahabharata, tapi ternyata manusia juga selalu saja melakukan reproduksi dan daur ulang tabiat maupun perilaku buruk itu dari waktu ke waktu, dari zaman ke zaman, juga dari sistem pemerintahan yang satu ke sistem pemerintahan yang lainnya.

Baca juga: Big Bang Effect

Realitas politik mutakhir di negeri ini pun ternyata masih memperlihatkan permainan-permainan konyol tersebut. Nalar permainan itu teramat kental mewarnai penjajakan-penjajakan koalisi politik yang dilakukan partai-partai yang kini sedang mulai memanasi mesin untuk ancang-ancang merebut kursi panas kekuasaan.

Dalam pengertian umum pembentukan sebuah koalisi, selalu mempersyaratkan adanya kesamaan-kesamaan masing-masing kekuatan yang sedang melakukan pembicaraan mengenai rencana koalisi. Adanya kesamaan visi, kesamaan ideologi, dan kesamaan garis perjuangan masing-masing partai adalah merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan.

Penjajakan untuk memilih pasangan pemimpin semestinya juga demikian. Harus dipertimbangkan terlebih dahulu kesenyawaannya, cara pandangnya, hingga kecocokan hati dan potensi adanya perselisihan di kemudian hari karena adanya perbedaan yang terlalu menyolok. Sebab jika itu yang terjadi, korban utamanya adalah rakyat yang akan dipimpin.

Namun yang terjadi di peta penjajakan koalisi kali ini, paling kentara sekali terlihat adalah 'permainan pingsut'. Dari kubu-kubu yang tercipta untuk menjagokan pemimpinnya, semua masih mengelus-elus calon pasangan dari orang-orang sama. Kubu yang satu menyebut sedang mendekati dua atau tiga orang untuk dijadikan alternatif pasangan, kubu yang satunya juga menyebut sedang mendekati dua atau tiga orang yang sama itu pula untuk dijajaki sebagai calon pasangan dari jagonya.

Ini artinya, masing-masing kubu sebenarnya tidak mempertimbangkan lagi kesamaan visi dan ideologi, tapi lebih mementingkan untuk bisa unggul menjegal lawan. Akhirnya pembentukan pasangan itu tidak lagi sesuai perhitungan dan pertimbangan yang lebih baik untuk menentukan nasib bangsa, melainkan hanya melulu mencari menang dalam kontestasi, tak hirau apakah nanti akan sepaham dan harmonis atau justru sebaliknya ketika bekerjasama seandainya memenangkan kontestasi itu.

"Kalau kau keluarkan gajah, aku akan keluarkan semut dan gajahmu akan tergigit semutku. Kalau kau keluarkan semut, aku akan ambil orang untuk membunuh semutmu. Kalau kau pilih orang, aku akan ambil dan keluarkan gajah itu untuk menginjak orangmu.
Kalau kau ambil batu, aku akan memasang kertas untuk membungkus batumu. Kalau kau pilih kertas, aku akan memasang gunting untuk mencacah kertasmu. Namun kalau akhirnya kamu ambil gunting, aku langsung ambil batu untuk mengganjal gunting itu."

Bisa jadi pergelaran heroik bertajuk perhelatan pemilihan pemimpin negara nanti hanya merupakan ending dari lakon 'pingsut nasional'. Arah perjalanan negeri dengan hampir 300 juta nyawa manusia menggantungkan nasibnya pada keputusan itu.

Karena itu, jika para petinggi dan penentu arah perjalanan bangsa itu tetap mempertahankan gaya seperti itu dalam berusaha mendapatkan kemenangan maka sebenarnya kita sudah harus segera bersiap untuk kenyataan pahit. Kenyataan bahwa kita hanya akan menjadi korban permainan kekuasaan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Siapapun nanti yang menang, kita akan menjadi orang terbuang, meskipun kita masih berada di pekarangan kita sendiri. Siapapun nanti yang berkuasa, kita akan menjadi orang terasing, meskipun kita berdiam di rumah kita sendiri. Sedangkan mereka akan dengan begitu ringannya mempertaruhkan nasib kita di meja permainan. Demikian berulang-ulang akan mereka lakukan terhadap kita.


Solo, 19 Juni 2022

Muchus Budi R, wartawan detikcom

ADVERTISEMENT

Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi.




(mbr/sip)


Hide Ads