Big Bang Effect

Kolom Minggu Pagi

Big Bang Effect

Muchus Budi R. - detikJateng
Minggu, 12 Jun 2022 06:00 WIB
ilustrasi opini tentang pemilu
(Foto: ilustrasi: edi wahyono)
Solo - Sorak-sorai kegembiraan dari kubu Pandhawa benar-benar membuat Bhagawan Drona panik. Dia gundah mendengar gemuruh teriakan bersahut-sahutan yang menggemakan kematian Aswatama, anak kesayangannya. Kesana-kemari dia mencari kepastian tentang kebenaran kabar itu. Semakin jauh dia bertanya semakin dalam dia terpukul, karena semakin banyak orang yang ditanya, semakin dia mendapat jawaban bahwa Aswatama memang telah gugur dalam pertempuran.

Satu-satunya jawaban yang meragukan baginya keluar dari mulut Puntadewa, murid terpercaya yang menjadi salah satu lawan utama dalam Perang Bharatayuda itu. Meskipun tidak membenarkan ataupun menyangkal kabar tersebut, Puntadewa tidak memberikan jawaban tegas ketika Drona bertanya tentang kabar kematian Aswatama.

Kondisi ini justru semakin membuat panik dan menjatuhkan mental Drona sebagai panglima perang dari kubu Astina. Guru besar ilmu pertahanan dan strategi militer itu limbung terkacaukan oleh perasaannya sendiri yang teraduk-aduk. Aswatama adalah satu-satunya harta baginya. Anak tunggalnya inilah yang diharapkannya meneruskan sejarah keluarga dan mewarisi semua ilmu dan padepokannya.

Puncak dari kebingungannya, Drona yang limbung terjatuh dari kereta perangnya. Dia terjerembab dan tertunduk. Menghiba-hiba, merintih-rintih, menyebut-nyebut nama anaknya. Dia benar-benar telah menjadi rapuh dan ringkih. Pada saat itu mendekatlah Drestadyumna, pangeran Pancala yang berada di kubu Pandhawa. Kepala Drona yang terkulai lemah diraihnya. Dalam sekejap, kepala itu terpenggal.

Tapi apakah benar Aswatama telah mati? Ternyata tidak. Sorak-sorai yang memenuhi di seantero Palagan Kurusetra sepanjang hari itu adalah rekayasa kabar yang didesain kubu Pandhawa. Rekayasa itu harus dilakukan untuk melemahkan dan menjatuhkan mental Drona sebagai panglima tertinggi Kurawa.

Tanpa itu mustahil Pandhawa mampu menandingi kemampuan perang Drona secara pribadi maupun menghadapi strategi pertempuran yang akan diterapkannya. Jika dibiarkan maka Pandhawa akan menjadi pencundang perang.

Pertimbangan lainnya, Drona adalah guru dari keluarga besar Bharata. Baik Pandhawa maupun Kurawa adalah murid langsung dari Drona. Semenjak masih kecil, para pangeran darah Bharata itu berada dalam bimbingan Drona dalam hal pengetahuan menggunakan senjata maupun strategi pertahanan dan pertempuran. Karenanya tidak mungkin bagi Pandhawa untuk berhadapan langsung dengan guru mereka, apalagi tega mencelakainya.

Strategi harus diatur. Kepada Bima diperintahkan untuk membunuh seekor gajah perang bernama Hestitama. Bangkai gajah itulah yang kemudian dikerumuni oleh para ksatria dan prajurit kubu Pandhawa, sembari meneriakkan sorak-sorai kematian Aswatama. Tujuannya jelas; agar Drona mendengar dan jatuh mentalnya. Dengan demikian Drona termakan opini yang diciptakan lawannya.

Salahkah yang dilakukan oleh Pandhawa? Dalam peperangan tentunya salah dan benar merupakan catatan yang harus ditunda penyebutannya dan pastinya masih perlu dicarikan lagi bumbu-bumbu pembenaran di kemudian hari. Yang pasti, cara-cara yang dilakukan Pandhawa itu adalah salah satu strategi untuk mencari dukungan dari simpatisan atau juga memukul musuh dengan opini. Perang adalah tipu daya.

Para Pandhawa telah menciptakan efek ledakan besar dari sebuah peristiwa yang sebenarnya tidak ada menjadi seolah-olah ada dan bahkan menjadi terkesan amat sangat spektakuler. Dalam politik situasi seperti inilah yang disebut sebagai big bang effect, sebuah efek yang terjadi akibat sebuah ledakan atau tren, namun seringkali pula berupa penggelembungan opini tentang dukungan agar orang lain yang berada di luar menjadi teperdaya dengan ledakan itu lalu tertarik untuk mendukung atau bergabung.

Banyak lembaga survei kini telah mengambil peran tersebut. Kekuatan-kekuatan politik sering memanfaatkan lembaga-lembaga survei untuk memanipulasi dukungan semu dengan seolah-olah menampilkan hasil survei. Setiap lembaga survei bisa saja menampilkan hasil yang berbeda, sesuai kebutuhan pemesannya. Tentu saja setiap hasil yang dirilis selalu disertai alasan-alasan ilmiahnya.

Tujuannya adalah meraih perhatian orang-orang yang belum menentukan pilihan dalam sebuah kontestasi politik. Mereka adalah kelompok orang yang sering disebut sebagai massa mengambang. Jumlah orang seperti ini jauh lebih banyak jika dibanding massa ideologis yang sejak awal paham pilihannya.

Mereka ini yang secara sendau-gurau sering menyebut diri sebagai kelompok anut grubyug ora ngerti rembug. Mereka ini akan menjadi pendukung loyal setelah termakan gencarnya opini. Mereka sering menjadi kelompok yang sama sekali sulit diajak dialog karena telah terpaku pada informasi yang diterimanya tentang pihak yang didukung.

Tujuan lain dari rekayasa ledakan tentu saja seperti yang yang dialami oleh Drona dalam peperangan Bharatayuda. Rekayasa opini itu seringkali menjadi alat perang urat syaraf untuk melemahkan kekuatan lawan, atau setidaknya mengaburkan konsentrasi lawan tentang kekuatan riil yang dimiliki si pembuat opini.

Jangan terlalu yakin tentang kebenaran hasil-hasil survei seperti ini mendekati kontes politik. Atau setidaknya jangan dekati hasilnya dengan pendekatan umum, sebab bisa jadi semangat yang berlaku bagi mereka memang sudah berbeda dengan semangat umum. Kepentingan-kepentingan yang berlalu-lalang mungkin telah mengubah susunan peribahasa umum menjadi, "lain ladang lain belalang, lain lembaga lain pemenangnya."


Solo, 12 Juni 2022

Muchus Budi R, wartawan detikcom
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi


(mbr/dil)


Hide Ads