Nama Mbah Cungkrung tidak asing lagi bagi masyarakat Desa Sukoharjo Kecamatan Margorejo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Sosok Mbah Cungkrung ini menjadi cikal bakal penyebaran Islam di wilayah Pati sekitarnya. Seperti apa ceritanya?
Makam Mbah Cungkrung berada di Dusun Gambiran Desa Sukoharjo, Kecamatan Margorejo. Makamnya berada di kompleks Masjid Baiturrohim Gambiran. Makam leluhur warga desa setempat tersebut hingga kini masih terawat dengan baik.
Humas Masjid Baiturrohim Gambiran, Amal Hamzah (60) mengatakan sosok Mbah Cungkrung cukup dikenal oleh masyarakat. Mbah Cungkrung merupakan murid dari Sunan Muria salah satu penyebar agama Islam di Jawa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu sezaman dengan Mbah Sunan Muria. Mbah Cungkrung ini merupakan murid dari Sunan Muria, Mbah Cungkrung menyebarkan agama Islam di Pati," jelas Amal kepada detikJateng ditemui di lokasi, Senin (28/3/2022).
Menurutnya makam Mbah Cungkrung masih terawat dengan baik. Nisan yang terbuat dari kayu pun masih dipertahankan sampai sekarang.
"Itu makamnya dilihat di situ dulu itu ada kayu diapit dulu tidak terawat dimakan rayap, itu akhirnya dibiarkan saja, untuk mempertahankan keaslian. Jadi di Gambiran ini awal Islam berkembang," ujar Amal.
Dia mengatakan Mbah Cungkrung merupakan ahli tasawuf. Tasawuf berarti mendekatkan diri kepada Allah dan meninggalkan dunia.
"Mbah Cungkrung itu merupakan ahli tasawuf. Tasawuf itu adalah orang yang mulai hanya mendekatkan diri kepada Allah dan meninggalkan dunia, kadang kala disebut dengan duhud, itu meninggalkan duniawi dan hanya mendekatkan kepada Allah," jelasnya.
Dia melanjutkan jika nama Cungkrung berarti sujud. Menurutnya Mbah Cungkrung konon dulu sering sujud. Lantas kemudian dikenal masyarakat luas dengan nama Mbah Cungkrung.
"Perilakunya ibadah, salat, karena Mbah Cungkrung memiliki kebiasaan sujud lidah Jawa mengatakan Jungkrung, tidak bisa Jungkrung maka Kiai Cungkrung berasal dari kata Jungkrung, Jungkrung itu nama lain dari sujud. Sujud itu adalah kebiasaan dari orang tasawuf selalu menyembah kepada Allah," terang dia.
Karena ajaran tasawuf Mbah Cungkrung ada beberapa tradisi yang dilestarikan masyarakat setempat. Seperti tidak menanggap wayang hingga bermain gamelan.
"Di sini dilarang nanggap wayang tidak boleh menanggap wayang, gamelan itu tidak boleh, karena seni itu kan bertentangan dengan tasawuf, mereka tidak suka dengan gebyar duniawi," ujar dia.
Amal menambahkan haul di Makam Mbah Cungkrung dilakukan setiap 1 Suro. Biasanya dilakukan dengan doa dan pengajian oleh masyarakat setempat.
"Tradisi Mbah Cungkrung tidak ada tradisi menanggap wayang di sini. Hanya mengaji dan tahlil. Haulnya setiap 1 Suro, biasanya tahlil, pengajian, kalau sekarang dibikin dua hari. Malam pertama tahlilan, kedua pengajian umum," pungkas dia.
(sip/sip)