Potret nyata toleransi beragama terjadi di sebuah desa di lereng Gunung Muria, Kabupaten Jepara. Desa tersebut memiliki bangunan masjid dan gereja yang letaknya berhadapan dengan jarak 5 meter saja.
Kondisi itu tak lantas membuat umatnya saling bertikai. Sebaliknya, umat muslim maupun kristiani di desa tersebut sanggup hidup berdampingan dengan harmonis.
Desa tersebut bernama Desa Tempur, Kecamatan Keling. Lokasinya berjarak 51 kilometer dari pusat Kota Jepara atau sekitar 1 jam 32 menit dengan berkendara sepeda motor.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk sampai di sana melewati jalan yang berliku. Terutama dari Kecamatan Keling. Jalannya naik turun disertai pemandangan yang masih hijau.
Sesampai di lokasi, tepatnya Dukuh Pekoso, terdapat masjid dan gereja yang bersebelahan. Nama gereja itu Gereja Injil Tanah Jawa dan Masjid Nurul Hikmah.
Menariknya mereka dapat hidup rukun dan nyaman meski berbeda keyakinan dan agama. Bahkan di beberapa kegiatan hingga saat perayaan hari besar mereka hidup berbaur menjadi satu.
"Di situ ada monumen ciri khas. Yakni satu masjid, dan satu gereja itu berdampingan. Itu sebagai bukti, hidup berdampingan tidak ada perbedaan," kata Kades Tempur, Mariyono saat ditemui di lokasi, beberapa waktu lalu.
Menurutnya di Desa Tempur terdapat 3.575 jiwa dan ada enam dukuh. Masyarakat secara administrasi beragama Islam dan Kristen. Menurutnya selama ini tidak ada konflik di lingkungan masyarakat.
"Secara administrasi di kependudukan hanya dua, Islam dan Kristen. Di Tempur ada enam dukuh. Jumlah jiwa saat ini 3.575 jiwa. Untuk sampai saat ini itu konflik tidak ada dengan latar belakang agama. Itu terbukti kami hidup berdampingan," ujar Mariyono.
Ditemui terpisah, Pendeta Gereja Injil Tanah Jawa, Suwadi mengatakan masyarakat di Desa Tempur memiliki rasa toleransi yang tinggi. Ini terbukti dengan adanya bangunan gereja dan masjid yang letaknya bersebelahan.
"Toleransi di Desa Tempur sangat bagus sekali, sampai sekarang. Kalau ada bangunan (kerja bakti) di gereja, (yang) muslim ikut adil. Bukan hanya tenaga, material juga ikut juga andil, tenaga juga adil. Kalau ada (kerja bakti) masjid juga ikut andil sebaliknya," terang Suwadi ditemui di lokasi.
Tidak hanya itu, saat perayaan hari besar pun kedua umat tersebut saling menghormati. Suwadi mencontohkan saat perayaan hari raya Idul Fitri, serambi masjid penuh sehingga pihak gereja menyediakan tempat.
"Kalau ada hari besar, misalnya saat Natal, gereja tidak muat, ya di serambi masjid. Kalau masjid ada lebaran, bisa di gereja," ucapnya.
Menurutnya gereja dan masjid sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Gereja dibangun sekitar tahun 1988 dan masjid baru tahun 2003. Suwadi mengatakan dulu sebelum ada gereja masyarakat kristiani menjalankan ibadah di rumah. Hingga akhir warga bergotong-royong mendirikan gereja di Desa Tempur.
"Terus lama-lama ada renovasi gereja sampai sekarang itu. Dulunya di rumah tahun 1986," ungkapnya.
Sedangkan pembangunan masjid baru tahun 2003. Pengurus masjid tersebut adalah kakak kandung Suwadi bernama, Giran Hadi Sunaryo.
"Lokasi memang gereja dan masjid, yang masjid itu kan kakak saya. Masjid kakak saya, gereja adik, saya sendiri. Saudara kandung. Gereja yang dulu, tahun 2003 masjid nyusul," ungkap Suwadi.
Sementara itu, Pengurus Masjid Nurul Hikmah, Abu Abdillah menambahkan selama ini masyarakat di Desa Tempur hidup secara berdampingan. Meski terdapat perbedaan keyakinan. Mereka hidup saling menghargai dan damai.
"Rukun-rukun saja antar dua agama, tidak saling berpendapat lain. Kalau ada kerja bakti. Misalkan masjid membangun, orang kristiani membantu, tapi sebaliknya ada gereja umat islam kita juga membantu. Saling sesama lah. Artinya rukun damai tidak ada masalah apa-apa," tambah Abu.
"Pernah hari raya dan Natal hampir sama. Itu di antara orang Islam bisa menjaga diri jangan sampai menganggu, kristiani juga jangan menganggu agama lain. Saling menghormati," ucapnya.
(aku/sip)