Jantung siapapun mungkin akan serasa mandeg berdegup jika membaca tulisan yang diunggah seorang ibu ini di akun medsosnya. Ringkas, datar, menohok, dan menggugat. Entah kepada siapa.
Saya tidak mengenalnya secara pribadi, hanya mengetahuinya bahwa anaknya adalah korban yang mengalami cacat permanen dari sebuah aksi kejahatan jalanan yang biasa disebut klithih.
"Bagaimana mungkin saya harus berempati pada nasib orang-orang yang memelas ketika ditangkap itu jika ingat mereka adalah yang tertawa-tawa bangga melihat korbannya yang sama sekali tak dia kenal, tak jelas kesalahannya, terkapar bersimbah darah bahkan ada yang meregang nyawa di hadapan mereka."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Demikian tulisan itu seperti anak panah yang melesat cepat dari busur dan tepat menancap di jantung hati orang yang masih punya perasaan.
Pada akhirnya, persoalan kekerasan sadis di jalanan itu memupuk benih dendam tak berujung. Sementara para pemangku kewenangan tak segera mampu mengurai akar masalah kekerasan yang sudah belasan tahun menjadi momok penghuni Jogja tersebut.
Orang-orang hanya sibuk mengutuk ujung masalah, lupa menelisik awal soal. Pihak berwenang cuma gaduh menyoal penamaan, tak segera bisa menyibak tabir bagaimana anak-anak itu bisa melakukan aksi bak babi buta dengan dalih klithih cari angin sambil menenteng senjata untuk menebas siapapun yang ditemui tanpa ada persoalan sebelumnya.
Kenapa anak-anak ini resah? Ada apa di rumah? Apakah huma mereka tak lagi berhati? Kenapa pula pihak berwenang tak mampu membangunkan rumah ramah bagi anak-anak yang sedang dalam usia pergumulan mencari eksistensi diri itu di ranah keistimewaan?
Rumah bukan hanya sebuah bangunan yang dijadikan untuk tempat berteduh dari terik maupun dingin, berlindung dari hujan dan angin. Rumah adalah tempat bagi penghuninya hadir berbagi kehangatan; muara tempat berlabuhnya semua kerinduan agar tetap menjadi manusia.
Sebab jika tidak, rumah hanya akan menjadi penjara, akan dijauhi dan diingkari kenyamanannya karena dirasa mengungkung jiwa-jiwa. Anak-anak yang jengah dan resah akan berusaha menemukan keberadaannya di jalanan tanpa panduan kemanusiaan.
Sambil undur, saya ingin mengutip sebuah syair Timur Tengah yang sangat terkenal:
andai bukan karena akal
sehina-hina singa
jauh lebih mulia dari manusia
Solo, 10 April 2022
===
Judul tulisan di atas diambil dari puisi karya Umbu Landu Paranggi
Muchus Budi R, wartawan detikcom
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi
(mbr/dil)