Istilah kaum boro sering terdengar di Kabupaten Wonogiri tiap Ramadan, khususnya saat menjelang mudik lebaran. Boro adalah sebutan bagi warga Wonogiri yang merantau.
Warga Wonogiri biasa menyebut para perantau sebagai kaum boro, singkatan dari ngalemboro alias mengembara.
Saat ini ribuan warga Wonogiri hidup dan mencari nafkah sebagai perantau di kota lain. Kebanyakan berada di Jakarta dan sekitarnya. Rata-rata memilih pekerjaan di bidang informal, salah satunya pedagang bakso dan mie ayam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lahan tandus jadi pendorong
Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Komisariat Wonogiri, Dennys Pradita, ada beberapa faktor yang menyebabkan mereka meninggalkan kampung halaman demi mengadu nasib di luar daerah.
"Faktor daerah kekeringan, tandus, menjadi salah satu penyebab banyak warga yang merantau. Selain itu, di Wonogiri juga banyak lahan yang orientasinya untuk pengelolaan pertanian," kata Dennys saat dihubungi detikJateng, Sabtu (2/4).
Merantau sarana ubah nasib
Selain faktor alam, perantauan warga Wonogiri juga dipengaruhi oleh faktor mental. Dennys berujar, dulu warga Wonogiri 'tak mau' menerima nasib sebagai petani atau nelayan. Mereka punya anggapan agar nasib seseorang bisa berubah maka harus merantau.
"Anak yang baru lulus SMA pilih merantau daripada bekerja sebagai petani dan nelayan. Angan-angan mereka itu merantau bisa merubah nasib. Padahal tidak selamanya seperti itu," ujar Dennys.
Fenomena sejak dulu
Sebelum Indonesia merdeka, Dennys menambahkan, sudah ada warga Wonogiri yang merantau terutama ke wilayah Jabodetabek. Namun, jumlahnya saat itu belum begitu banyak. Puncak perantauan warga Wonogiri baru terjadi pada era Orde Baru.
"Orde Baru dulu punya program terkait pembangunan ekonomi di ibu kota, itu sekitar 1970. Pembangunan itu banyak menyerap tenaga kerja, baik di sektor pekerja kantor hingga buruh. Warga Wonogiri banyak yang terjun ke sektor itu," ungkap Dennys.
Orde Baru telah berlalu, namun hingga kini masih banyak warga Wonogiri yang merantau. Menurut Dennys, perantau baru ini lebih tergiur oleh banyaknya lapangan kerja di kota besar. Selain itu, UMR di kota juga lebih besar.
"Biasanya orang melihat besaran UMR di tiap daerah. Padahal belum tentu untung juga. Karena gaji besar tapi biaya hidupnya juga tinggi," kata Dennys.
Tersebar di Tanah Air
Warga Wonogiri yang merantau tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Namun, sebagian besar berada di wilayah Jabodetabek. Seiring berkembangnya waktu, perantau Wonogiri mulai menampakkan identitasnya sebagai pedagang mie ayam dan bakso.
"Biasanya mereka akan memberi nama warungnya dengan sebutan Bakso Wonogiri atau Bakso Gajah Mungkur. Saat saya di Sumbawa juga ada warung Bakso Wonogiri yang cukup besar. Saya tanya asalnya dari Sidoharjo, Wonogiri," ujar Dennys.
Para perantau, terutama yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya, memiliki ikatan kekeluargaan yang cukup erat. Mereka mengikatkan diri dalam sejumlah paguyuban, seperti Paguyuban Paseduluran Mudo-Mudi Wonogiri (Pandowo), Paguyuban Wonogiri Manunggal Sedyo (Pawonmas) dan lain-lain.
"Secara garis besar, kaum boro (perantau) dari Wonogiri muncul karena terseret arus pembangunan yang dilakukan pemerintah Orde Baru. Di sisi lain memang banyak pedagang sukses yang berawal dari ikut orang terlebih dahulu kemudian membuka usaha sendiri," kata Dennys.
Punya siklus pulang kampung
Ketua Umum Paguyuban Wonogiri Manunggal Sedyo (Pawon Mas), Agus Suparyanto, mengatakan merantau atau boro ke luar kota yang dilakukan warga Wonogiri itu dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Musim tanam dan panen padi menjadi acuannya. Saat musim tanam, laki-laki dan perempuan akan bercocok tanam.
"Kalau sudah 2-3 minggu, tepatnya saat waktunya menyiram tanaman, warga yang laki-laki itu pergi ke luar kota untuk merantau. Biasanya selama 3-4 bulan. Bekerja sebagai buruh atau di sektor bangunan," terang Agus.
Menjelang masa panen tanaman, tepatnya pada bulan keempat atau kelima, para kaum boro itu akan pulang. Usai panen mereka masih menggarap sawahnya. Setelah masa tanam lewat, mereka kembali ke perantauan untuk menjadi buruh.
"Siklus kaum boro seperti itu. Boro itu mengembara, meninggalkan kampung. Jadi kaum boro itu KTP-nya Wonogiri, tapi kehidupannya banyak di perantauan. Mereka juga tidak menetap di perantauan dan keluarganya pun masih di kampung," ungkap Agus.
Kisah sukses kaum boro
Salah satu perantau yang cukup sukses sebagai pedagang bakso adalah Maryanto (49), seorang warga Kecamatan Girimarto. Dia kini telah menjadi juragan bakso di Bekasi.
Maryanto merantau usai lulus dari SMP di tahun 1987. Dia memilih meninggalkan kampung halamannya karena tidak ada biaya melanjutkan sekolah. Setiba di Jakarta, dia menjadi pedagang bakso keliling.
"Setelah dua tahun menjalani aktivitas seperti itu, saya kembali ke Wonogiri untuk melanjutkan SMA. Setelah lulus, saya kembali lagi ke Jakarta. Bekerja di sebuah perusahaan, tapi di sela-sela itu saya tetep keliling jualan bakso pikul," kata dia saat dihubungi detikJateng, Sabtu (2/4).
Pada 2011, dia berhenti menjadi pedagang bakso keliling dan berhasil membuka restoran atau outlet pertama yang dimilikinya di daerah Bekasi. Usaha itu terus dikembangkan. Kini, dia telah memiliki 4 outlet bakso. Jumlah karyawannya mencapai puluhan orang.
Ulet, prihatin dan tekun
Menurut Maryanto, banyak perantau asal Wonogiri lainnya yang senasib dengan dia, berhasil menjadi juragan bakso di sekitar ibu kota. Bahkan, sederet nama lain memiliki usaha bakso yang jauh lebih besar dan bergengsi.
Beberapa di antaranya adalah Bakso Lapangan Tembak Senayan serta Bakso Haji Yatmin. Keduanya milik warga asal Kecamatan Selogiri, Wonogiri. Rata-rata dari mereka juga memulai usahanya dari pedagang bakso keliling.
"Ya suksesnya pedagang bakso Wonogiri itu karena sikap ulet, prihatin, tekun, tidak gampang frustasi dan telaten," katanya.
(aku/aku)