Setiap lebaran, terutama saat sebelum pandemi, ribuan perantau berbondong-bondong mudik ke Wonogiri. Menurut Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Komisariat Wonogiri, Dennys Pradita, ada beberapa faktor yang menyebabkan mereka meninggalkan kampung halaman demi mengadu nasib di luar daerah.
"Faktor daerah kekeringan, tandus, menjadi salah satu penyebab banyak warga yang merantau. Selain itu, di Wonogiri juga banyak lahan yang orientasinya untuk pengelolaan pertanian," kata Dennys saat dihubungi detikJateng, Sabtu (2/4/2022).
Selain faktor alam, perantauan warga Wonogiri juga dipengaruhi oleh faktor mental. Dennys berujar, dulu warga Wonogiri 'tak mau' menerima nasib sebagai petani atau nelayan. Mereka punya anggapan agar nasib seseorang bisa berubah maka harus merantau.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Anak yang baru lulus SMA pilih merantau daripada bekerja sebagai petani dan nelayan. Angan-angan mereka itu merantau bisa merubah nasib. Padahal tidak selamanya seperti itu," ujar dia.
![]() |
Sebelum Indonesia merdeka, Dennys menambahkan, sudah ada warga Wonogiri yang merantau terutama ke wilayah Jabodetabek. Namun, jumlahnya saat itu belum begitu banyak. Puncak perantauan warga Wonogiri baru terjadi pada era Orde Baru.
"Orde Baru dulu punya program terkait pembangunan ekonomi di ibu kota, itu sekitar 1970. Pembangunan itu banyak menyerap tenaga kerja, baik di sektor pekerja kantor hingga buruh. Warga Wonogiri banyak yang terjun ke sektor itu," ungkap Dennys.
Orde Baru telah berlalu, namun hingga kini masih banyak warga Wonogiri yang merantau. Menurut Dennys, perantau baru ini lebih tergiur oleh banyaknya lapangan kerja di kota besar. Selain itu, UMR di kota juga lebih besar.
"Biasanya orang melihat besaran UMR di tiap daerah. Padahal belum tentu untung juga. Karena gaji besar tapi biaya hidupnya juga tinggi," kata Dennys.
(dil/ahr)