Gus Dur pernah mengungkap bahwa tata ruang atau tata bangunan di pesantren-pesantren kuno nyaris sama. Tata ruang pesantren-pesantren kuno itu mengadopsi simpingan wayang kulit.
Kediaman kiai pemangku pesantren berada di simpingan tengen atau tempat para ksatria, asrama untuk tempat tinggal para santri selalu berada di simpingan kiwa yang merupakan tempat para raksasa. Sedangkan di tengahnya adalah masjid yang digambarkan sebagai tempat semua pergumulan tentang kehidupan dan bahkan sebagai gambaran tempat peperangan berlangsung sepanjang lakon digelar.
Gambaran tentang raksasa dalam proses adopsi tersebut adalah bukan makhluk terkutuk yang ditakdirkan sebagai penjahat. Raksasa adalah pribadi yang belum sampai pada tataran kesempurnaan dalam perjalanan hidupnya. Raksasa itu masih bisa berubah menjadi manusia jika terus mau belajar.
Konflik yang terjadi bukan antara yang baik dan yang jahat, yang dijabarkan dalam bentuk hitam dan putih, melainkan antara yang sudah sampai pada tataran baik dengan yang belum sampai pada tingkatan baik, antara yang mengalami perkembangan spiritual dengan yang tidak mengalaminya karena tidak peduli keadaannya.
Konsep dunia pewayangan memberikan dorongan untuk mengembangkan sikap toleransi. Pergumulan kehidupan selalu berhubungan dengan pemahaman yang bersifat ambivalen dan bertahap mengenai pengembangan spiritual yang menggarisbawahi pendidikan moral.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan tujuan pendidikan, termasuk di dalamnya adalah sekolah umum maupun pesantren, adalah mencetak bahan mentah spiritual menjadi sesuatu yang matang dan penting. Karena itulah kehausan untuk mencari ilmu dan pengetahuan menjadi sesuatu yang wajib untuk mencapai kesempurnaan menjadi manusia.
Orang-orang yang selalu terlalu bangga pada diri sendiri tanpa mau terus belajar untuk menjadi lebih baik, selanjutnya akan terus bertahan pada jati dirinya sebagai raksasa. Orang-orang yang merasa paling benar serta paling pintar dan tidak mengembangkan sikap toleransi adalah penganut sikap picik yang merasa bahwa kebenaran hanya ada pada pihaknya.
Mereka mengembangkan dunianya yang sempit sebagai pemeluk kebenaran tunggal. Mereka, dengan demikian, telah mengambil alih kuasa yang sesungguhnya hanya layak dipegang oleh Tuhan sebagai pemegang kebenaran tunggal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pribadi yang baik akan selalu merasa kurang dan terus merasa kurang dalam mencari kesempurnaan. Dia akan menjadi padi yang terus tumbuh tanpa berisik, terus berisi, menuju kematangan, dan terus melakukan pengisian ruang-ruang pribadinya dengan semakin menunduk.
Pribadi yang menuju proses kematangan tidak akan pernah congkak karena dia ingin mencari kesempurnaannya dalam ruang-ruang kerendahhatian. Yang congkak dan gegabah akan terlihat bahwa dia masih bangga menjadi raksasa.
Solo, 3 Maret 2022
Muchus Budi R, wartawan detikcom
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi
(mbr/aku)