Ada saatnya dalam hidupmu engkau ingin sendiri saja bersama angin, menceritakan seluruh rahasia, lalu meneteskan air mata.
(Bung Karno, 1933)
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hidup di zaman pekak mutlakkah dipersyaratkan menyapa dengan saling hardik dan berteriak? Seharusnya, tidak! Namun senyatanya demikian yang terpapar dalam kesehariannya.
Kepekakan demi kepekakan terus diperjuangkan secara gaduh untuk saling menumpuki kepekakan sebelumnya. Jumpalitan kata dalam teriakan, menyemburkan kedangkalan arti dan keangkuhan pada pemaknaannya.
Pernahkah sesekali Anda melonggarkan waktu mendengar 'suara diam'; suara dari kediaman yang selama ini tidak digubris karena kita terlalu larut pada hiruk-pikuk dan hibuk dalam kegaduhan?
Kita memang sering hanyut terlalu banyak mengartikulasikan suara-suara keras sehingga lupa mendengarkan suara-suara lemah dan terlemahkan.
Seperti keangkuhan ular menyombongkan bisa, seperti burung mengandalkan sayapnya, orang-orang kini sibuk menelanjangi kata yang tak pernah purna dipahaminya dan lalu terluka oleh runcing belati di gigir luncurannya.
Tanggalkan kepekakan, sambut kepekaan!
Datanglah Anda ke suatu tempat yang benar-benar terbebas dari kegaduhan, hibuk dan kebisingan. Di situlah suara diam itu akan menyapa indera dan membawa selaksa pesan untuk mengetuk jantung hati.
Suara diam itu datang menghampiri dari segala arah, pada diri yang sedang sendiri akan menjadi tempat singgah segala penjuru. Dia lembut sekaligus menghentak, mengayun sekaligus menjejas.
Pada saat itulah, Anda layak mempertimbangkan untuk menjalankan pesan amat berharga dari Maulana Jalaluddin Rumi, "perkecillah dirimu maka kau akan tumbuh lebih besar dari dunia. Tiadakan dirimu maka jati dirimu akan terungkap tanpa kata-kata."
Bisa jadi akan kembali berbisik jelas segala utang janji kesanggupan pada jalan kehidupan atau sapaan keras dari hati kepada pikir agar segera menjumput prarasa kemanusiaan, tak cuma berpegang pada kuasa kata tentang kejauhan sekaligus kedekatan pada Sang Pencipta; sangkan paraning dumadi.
Batasan keterdengaran panggilan dan seruan bukan pada keras dan lantangnya suara; apa lagi pada ketus atau sumbangnya nada penyeru. Sebab, kalau memang ukurannya adalah kerasnya suara dan teriakan, sesungguhnya Abu Lahab ditakdirkan bukan sebagai seorang tuli dan bahkan rumahnya bersebelahan dengan kediaman Baginda Nabi.
Solo, 27 Februari 2022
Muchus Budi R, wartawan detikcom
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi.
(mbr/sip)