Tokoh masyarakat penganut kepercayaan Sedulur Sikep atau Samin, Wargono atau Mbah Gono meninggal dunia kemarin. Sang anak, Gunretno menyampaikan cara mereka melihat dan memaknai kematian yang disebutnya Salin Sandangan.
Wargono merupakan tokoh masyarakat Sedulur Sikep yang tinggal di Dukuh Kaliyoso Desa Karangrowo Kecamatan Undaan. Mbah Gono meninggal dunia pada Kamis (25/2) pukul 15.00 WIB dan dimakamkan pada Sabtu (26/2) di dalam rumahnya.
Sosok Mbah Gono dikenal juga ayah dari Tokoh Samin di Pati, Gunretno. Gunretno mengatakan prosesi upacara kematian atau disebut Salin Sandang berbeda dengan kematian masyarakat pada umumnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini pas Salin Sandangan Bapak Wargono. Di sini dari awal keluarga memang sudah punya persiapan untuk menyampaikan di masyarakat publik secara luas, karena kadang sedulur di luar sikep berbagai perbedaan ini kadang ketemu tanya, bisa dijawab, tapi kadang tidak tanya sudah memvonis, o sikep itu begini-begini," terang Gunretno kepada wartawan ditemui di lokasi, Sabtu (26/2/2022).
"Momen kesempatan Salin Sandang Mbah Wargono sebenarnya keluarga ingin menyampaikan Salin Sandangan atau disebut kematian di masyarakat luas," sambung dia.
Gunretno mengatakan Salin Sandang ini dimaksud adalah sandangan atau jiwa manusia yang bisa rusak. Menurutnya Sedulur Sikep memiliki arti sendiri soal Salin Sandangan tersebut.
"Jadi Sandangan itu bisanya rusak, tapi bukan sandangan ini (pakaian) jadi wujudnya raga. Lha Sedulur Sikep punya keyakinan nik becik keluakuane (bagus kelakuannya), bener ucapnya ya ya asalnya orang bakal orang lagi (sesuai ucapannya ya asalnya orang akan kembali menjadi orang lagi). Itu yang jadi tata cara Sedulur Sikep," jelas dia.
Namun lanjut dia, untuk membuktikan ucapan dan perilaku harus membutuhkan waktu lama. Menurutnya mati ini adalah hal yang bisa dirawat, bisa dikatakan sehat. Karena kata dia, mati adalah kelanggengan.
"Untuk membuktikan ucap laku becik itu kan butuh proses, makanya Sedulur Sikep, mati ini malahan kena dirumati dalah itu balah malah seger kuarasan (mati malahan bisa dirawat itu bisa dikatakan sehat), lha mergo urip iku ora mati, urip iku langgeng, mung ganti pakaian, ganti sandang (karena hidup itu bukan mati, hidup itu kelanggenan, hanya ganti pakaian)," jelas Gunretno.
Mbah Gono memiliki wasiat ketika hidupnya, berpesan jika meninggal dunia ingin jenazahnya dimakamkan di dalam rumahnya.
"Saya menjelaskan memang dengan Salin Sandang ada wasiat Mbah Gono ya itu mungkin wasiat tidak bisa ditiru Sedulur Sikep lainnya. Mbah Gono sejak muda berproses bagaimana mengencangi laku, namun bagaimana sikepnya Mbah Gono sikep yang mau menerima masalah lingkungan, bahkan Mbah Gono jadi pertimbangan dulur-dulur tidak hanya Sedulur Sikep bahkan desa," terang dia.
"Saya selaku anaknya ketika bapak didatangi sedulur, totalitas, anaknya diajak bantu. Maka pihak keluarga desa mengakui Mbah Gono dianggap beda dengan lainnya, bisa dianggap tokoh," sambung Gunretno.
Diwawancara terpisah, Pemerhati Sedulur Sikep, Moh Rosyid menjelaskan Sedulur Sikep memiliki tata cara berbeda pada prosesi pemakaman. Seperti mengenakan pakaian adat hingga posisi jenazah saat berada di makam.
"Sedulur Sikep memiliki tata cara yang berbeda, meskipun ada serupa dengan warga setempat. Ada yang dikafani ada yang mengenakan pakaian adatnya," terang Rosyid yang juga Dosen IAIN Kudus dihubungi detikJateng lewat sambungan telepon siang tadi.
"Kemudian dalam Islam posisi jenazah menghadap ke barat, menawi Sedulur Sikep mboten, namun menghadap ke atas tidak miring. Yang jelas mereka ada aturan tertentu yang berbeda dengan muslim. Kemudian diberi nisan," pungkas dia.
(sip/sip)