Wujud Lelembut Tiap Daerah Beda-beda, Pakar UGM Ungkap Ini Sebabnya

Wujud Lelembut Tiap Daerah Beda-beda, Pakar UGM Ungkap Ini Sebabnya

Jauh Hari Wawan S. - detikJateng
Sabtu, 26 Feb 2022 07:07 WIB
Ilustrasi Drive Thru Rumah Hantu
Ilustrasi hantu. Foto: (Getty Images)
Yogyakarta -

Indonesia punya ragam budaya yang kaya. Bahkan hingga dunia tak kasat mata alias jagading lelembut.

Masyarakat Jawa pada umumnya menyebut lelembut sebagai hantu, dedemit, setan, momok, memedi dan lain sebagainya. Tak hanya sebutannya, setiap daerah pun punya ragam wujud dan sosok lelembut yang berbeda-beda. Kenapa bisa seperti itu?

Dosen Sastra Jawa UGM Rudy Wiratama mengatakan ada dua pendekatan untuk bisa menjelaskan soal kehadiran lelembut itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pertama, dari ilmu neurosains atau ilmu tentang syaraf yang dianggap bagian dari fenomena biasa. Yakni ketika gelombang elektromagnetik otak tidak stabil kemudian lonjakan gelombang itu bisa ditangkap oleh otak manusia kemudian ditransmisikan dalam bentuk halusinasi.

"Penglihatan tentang makhluk gaib kan macam-macam. Tanggapan para ilmuwan ada yang mengatakan kalau itu gelombang elektromagnetik otak kita masing-masing. Kalau pas kacau itu tiba-tiba bisa weruh-weruhan. Jadi bisa aslinya nggak ada tapi kelihatan ada, kadang kalau nampak juga sekelebat putih," kaya Rudy saat dihubungi wartawan, Jumat (25/2/2022).

ADVERTISEMENT

"Kalau yang sampai nyapa kan jarang ada orang yang melihat dalam bentuk nyata dalam artian lengkap detail, jarang," imbuhnya.

Kemudian faktor kedua yakni terkait kebudayaan. Dalam artian manusia sebagai makhluk yang beradab, bagian dari peradaban itu pasti menangkap dan menyerap fenomena-fenomena yang ada di sekitar.

Maksudnya, kata Rudy, manusia sebagai makhluk yang beragama dan berbudaya pasti memiliki kepercayaan tentang energi-energi gaib itu. Apakah itu jin kemudian diterjemahkan sesuai konteks kebudayaan masing-masing. Oleh karena itu kalau ke China tidak akan bertemu dengan hantu pocong.

"Hantu pocong itu ya Indonesia, Malaysia, konteksnya dari warga yang mayoritas Islam kemudian jenazah itu secara tradisi dikuburkan, dipocong, itu hantu pocong bisa muncul di situ. Tapi kalau di China kan itu nggak ada hantu pocong, yang ada vampir dan itu pakai pakaian daerah sana," ucapnya.

Contoh lain yang diutarakan Rudy yakni soal banaspati. Umumnya, banaspati itu terlihat seperti bola api yang melayang. Akan tetapi terkadang diilustrasikan sebagai kepalanya raksasa atau seperti juga rambut geni (rambut api) yang jalannya terbalik dan lain sebagainya.

"Itu juga bagian dari fenomena budaya yang ada di masyarakat. Makanya, tiap-tiap daerah itu bentuknya beda-beda," ujarnya.

"Pocong kalau di pedalaman Jawa namanya wedon. Kemudian di daerah lain mempercayai seperti kain kafan terbang pokoknya putih terbang, mak klebat itu bagi orang nangkapnya beda-beda," imbuhnya.

Namun, beda cerita jika merupakan pengalaman pribadi yang berkaitan dengan kepercayaan atau keyakinan. Orang lain tidak akan bisa menyanggah karena tidak mengalami.

"Kita nggak bisa masuk ke situ karena yang mengalami mereka. Jadi sudah tidak bisa lagi kita nalar soalnya itu menjadi pengalaman masing-masing personal," ucapnya.

Apalagi, kata Rudy, jika cerita itu sudah menyebar di masyarakat dan direproduksi ulang. Maka akan banyak masyarakat yang lebih percaya.

"Kalau pengalaman personal itu diceritakan itu kan direproduksi oleh masyarakat bahwa di sini setannya bentuknya seperti itu. Jadi entah lihat atau tidak tapi kan rata-rata masyarakat akan mengamini bentuknya seperti itu. Apalagi kalau dekat dengan konteks kebudayaan," paparnya.

Lebih lanjut, Rudy mengatakan ada perbedaan wujud lelembut berdasarkan zaman dan wilayah. Misalnya, ada daerah-daerah yang danyangnya (hantunya) berupa buto di daerah yang banyak arca atau perwujudan binatang air di daerah rawa.

"Karena di sana banyak arca atau bekas peradaban Hindu itu dhemit-nya kebanyakan buto. Juga misalnya daerah rawa, dayangnya terkait dengan rawa. Ada yang seperti buaya. Ya itu tadi menyesuaikan lingkungan," ucapnya.

Oleh karena itu, Rudy menegaskan citraan masyarakat terhadap lelembut bergantung kepada segi penyesuaian landscape kebudayaan daerah.

"Saya kira Jogja itu banyak, tiap daerah, sekitar Parangtritis siapa, Gunungkidul siapa saya tidak hafal, dan itu berkembang sesuai zaman," katanya.

Dikatakan Rudy, di Indonesia selain literatur 'Serat Kidungan' yang ditulis oleh Ki Ronggosutrasno yang diterbitkan oleh penerbit Tan Gun Swi, Kediri, tahun 1929. Ada juga karya yang ditulis oleh Ki Widi Prayitno yang mengulik soal jagading lelembut.

"Ada serat namanya sejarah jin itu karyanya Ki Widi Prayitno dari Sentolo, Kulon Progo. Itu ditulis tahun 1920-an, sejarah jin atau sejarah lelembut. Itu naskahnya di Leiden ada di perpustakaan nasional ada, itu beberapa jilid," pungkasnya.




(sip/sip)


Hide Ads