Penindakan over dimension over loading (ODOL) menuai protes hingga berujung demo sopir truk di berbagai daerah. Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menilai persoalan ODOL harus dibereskan dari hulu hingga hilir.
"Kalau ODOL masalah sudah lama, sudah lama dan tidak banyak di apa ya mulai ditertibkan karena dampak ODOL luar biasa, bukan persoalan jalan rusak saja, tapi keselamatan. Kalau kita lihat setiap hari itu sebenarnya di Indonesia terjadi kecelakaan truk, cuman yang diekspos yang kira-kira ada kameranya, CCTV dan bisa menjadi viral, tapi di luar itu yang cukup banyak tiap hari kecelakaan itu terjadi," kata Djoko kepada detikJateng saat ditemui di Grand Artos Magelang, Rabu (23/2/2022).
Djoko yang juga dosen Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata Semarang melanjutkan, persoalan ODOL jika tidak dibereskan dari hulu hingga hilir maka akan menjadi beban cukup berat bagi pengemudi atau sopir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau pengemudi di luar negeri nggak seperti pengemudi truk di Indonesia. Kita sudah tambah kernet, kemudian persoalan-persoalan di lapangan ban pecah, kemudian ada pungutan-pungutan liar yang dilakukan oknum seragam dan tidak seragam masih cukup banyak, itu bebannya di sopir. Nah padahal kalau dilihat sekarang itu ongkos atau tarif untuk angkutan itu rendah. Rendah dalam artian sekarang itu mekanisme pasar," ujar Djoko.
Baca juga: Demo Truk ODOL Goyang Pantura |
![]() |
Menurut Djoko, dulunya angkutan muatan diatur oleh pemerintah. Sehingga saat itu minim sekali ditemukan truk ODOL, jika dibandingkan dengan sekarang.
"Sekarang ini semua kendaraan barang rata-rata, 95 persen lebih itu overload. Kalau per dimensi masih dilihat, kalau kendaraan boks kan nggak lah. Tapi kalau overload ya, padahal di sisi lain memang mereka diperiksa di jembatan timbang, namun kapasitas jembatan timbang itu tidak bisa beroperasi 24 jam," tuturnya.
Lebih lanjut, ongkos yang murah tersebut imbasnya pada pendapatan pengemudi. Untuk itu, pengemudi bebannya terlalu tinggi sehingga mau mengangkut muatan overload.
"Perusahaan-perusahaan nggak overload sudah banyak yang kolaps itu karena tidak mampu tadi. Karena terlalu rendah menganggap mereka karena ongkosnya itu tidak bisa mereka jangankan untung. Untuk menutup angsuran truk saja nggak cukup, overload itu tadi bisa nutup angsuran, kemudian untuk biaya-biaya tidak terduga," ujar Djoko.
Salah satu solusi, kata Djoko, harus ada penindakan. Hal ini minimal dimulai dari membereskan uji KIR. Semua kendaraan harus dipastikan menjalani uji KIR.
"Ya kita harus beresin itu, minimal saya bilang hulu hilir bagaimana membereskan namanya KIR. KIR itu sekarang masih ada yang kendaraan-kendaraan itu tidak KIR, kenapa? Ya dia over-dimensi, kalau ketahuan kan otomatis nggak boleh operasi. Nah ya nggak mereka tetap operasi, tetapi ya mungkin KIR-nya palsu, kalau ada surat, kalau tidak bersurat. Kalau tidak bersurat, kita jujur saja penegakan hukum kita lemah dua tahun terakhir ini boleh dikatakan selama pandemi minim penegakan hukum terhadap muatan lebih dan itu semakin merajalela," ujar dia.
Djoko pun mengapresiasi langkah yang dilakukan Kementerian Perhubungan maupun polisi di masing-masing daerah pada bulan ini. Yaitu dengan melakukan penertiban terhadap angkutan ODOL.
"Penegakan hukum itu harus dilakukan, harus masif. Sekarang alhamdulillah kita apresiasi lah bulan Februari ada gerakan bersama se-Indonesia antara Perhubungan dengan Dirlantas atau Satlantas di daerah, tapi ini tentunya harus masif jangan hanya sesekali saja kan tidak ada gunanya, tapi sambil membenahi urusan KIR-nya. KIR ini juga harus seragam se-Indonesia karena KIR dilakukan oleh kabupaten/kota, tetapi ada pengawasan dari pusat, harus diawasi mereka dengan aturan yang seragam dan sama," pungkasnya.
(rih/sip)