Kota Magelang, Jawa Tengah menjadi salah satu kota tertua di Indonesia. Usianya menginjak 1.114 tahun pada April 2022 nanti.
Dilansir dari website resmi Pemkot Magelang, hari jadi Magelang pada 11 April 907 Masehi ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 6 Tahun 1989.
Penetapan ini merupakan tindak lanjut dari seminar dan diskusi yang dilaksanakan oleh Panitia Peneliti Hari Jadi Kota Magelang yang bekerja sama dengan Universitas Tidar Magelang. Tim ini juga dibantu pakar sejarah dan arkeologi Universitas Gajah Mada, Drs MM Soekarto Kartoatmodjo, dengan dilengkapi berbagai penelitian di Museum Nasional maupun Museum Radya Pustaka Surakarta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejarah cikal bakal Kota Magelang diawali dari Desa Perdikan Mantyasih. Desa tersebut saat ini dikenal dengan Kampung Meteseh di Kelurahan Magelang.
Kata Mantyasih memiliki arti beriman dalam cinta kasih. Di Kampung Meteseh saat ini terdapat sebuah lumpang batu yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan Sima atau Perdikan.
Selanjutnya untuk menelusuri sejarah Kota Magelang, sumber prasasti yang digunakan adalah Prasasti POH, Prasasti GILIKAN dan Prasasti MANTYASIH. Ketiganya merupakan prasasti yang ditulis di atas lempengan tembaga.
Prasasti POH dan Mantyasih ditulis pada zaman Mataram Hindu saat pemerintahan Raja Rake Watukura Dyah Balitung (898-910 M). Dalam prasasti ini disebut-sebut adanya Desa Mantyasih dan nama Desa Glangglang. Mantyasih inilah yang kemudian berubah menjadi Meteseh, sedangkan Glangglang berubah menjadi Magelang.
![]() |
Dalam Prasasti Mantyasih berisi antara lain, penyebutan nama Raja Rake Watukura Dyah Balitung, serta penyebutan angka 829 Caka bulan Caitra tanggal 11 Paro-Gelap Paringkelan Tungle, Pasaran Umanis hari Senais SΓ§ara atau Sabtu, dengan kata lain Hari Sabtu Legi tanggal 11 April 907.
Disebut pula Desa Mantyasih yang ditetapkan oleh Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung sebagai Desa Perdikan atau daerah bebas pajak yang dipimpin oleh pejabat patih. Juga disebut-sebut Gunung Susundara dan Wukir Sumbing yang kini dikenal dengan Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.
Ketika Inggris menguasai Magelang pada abad ke-18, kota ini dijadikan sebagai pusat pemerintahan setingkat kabupaten. Sosok Mas Ngabehi Danukromo menjadi bupati pertama.
Dia lalu merintis berdirinya Kota Magelang dengan membangun alun-alun, bangunan tempat tinggal bupati serta masjid. Dalam perkembangan selanjutnya dipilihlah Magelang sebagai Ibu Kota Karesidenan Kedu pada tahun 1818.
Setelah pemerintah Inggris ditaklukkan oleh Belanda, kedudukan Magelang semakin kuat. Pemerintah Belanda menjadikan kota ini dijadikan pusat lalu lintas perekonomian. Selain karena letaknya yang strategis, udaranya yang nyaman serta pemandangannya yang indah Magelang kemudian dijadikan Kota Militer.
Pemerintah Belanda terus melengkapi sarana dan prasarana perkotaan. Menara air minum dibangun di tengah-tengah kota pada tahun 1918, perusahaan listrik mulai beroperasi tahun 1927, dan jalan-jalan arteri diperkeras dan diaspal.
Magelang kemudian berkembang menjadi kota yang selanjutnya menjadi Ibu Kota Karesidenan Kedu dan juga pernah menjadi Ibu Kota Kabupaten Magelang. Setelah masa kemerdekaan kota ini menjadi kotapraja dan kemudian kotamadya dan di era reformasi. Sejalan dengan pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah, sebutan kotamadya ditiadakan dan diganti menjadi kota.
(sip/ams)