Menelusuri Pulau Purba di Ciletuh, dari Mandra hingga Karang Kontol

Menelusuri Pulau Purba di Ciletuh, dari Mandra hingga Karang Kontol

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Senin, 06 Okt 2025 13:00 WIB
Karang Kontol
Karang Kontol (Foto: Syahdan Alamsyah/detikJabar)
Sukabumi -

Perahu kayu bertuliskan Wisata Ciletuh 03 siang itu perlahan meninggalkan dermaga Palangpang. Cat birunya telah pudar, tapi huruf-huruf putih di lambungnya masih jelas terbaca. Suara mesinnya serak tapi stabil, membelah air Sungai Ciletuh yang lebar menuju laut lepas.

Tarif perjalanan ini berkisar Rp40 ribu hingga Rp50 ribu per orang, tergantung sejauh mana penumpang ingin dibawa. "Kalau mau ambil titik terjauh, bisa lebih," kata Saman, pemandu wisata sekaligus juragan perahu wisata di kawasan Ciletuh.

detikJabar sore itu menjajal rute paling jauh hingga ke Karang Kontol, karang purba di titik terluar Teluk Ciletuh Palabuhanratu. Perjalanan dimulai pukul 15.40 WIB dan berakhir pukul 17.35 WIB, tepat saat matahari turun dan laut berubah warna menjadi keemasan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saman mengutus Abdillah anak buahnya untuk menjadi juru mudi atau pengendali perahu, sementara dia duduk di buritan, mengenakan topi lebar dan rompi pelampung. Seluruh penumpang juga wajib mengenakan pelampung, sebagai standar prosedur keselamatan.

ADVERTISEMENT

"Saya Saman, asli dari Geopark Ciletuh. Saya guide pemandu wisata Geopark Ciletuh, insya Allah saya bisa menjelaskan geosite yang ada di Geopark Ciletuh ini terutama yang ada di Pulau Kunti," ujarnya kepada detikJabar, Minggu (5/10/2025).

Ia menunjuk ke sisi kanan perahu, ke arah muara yang dikelilingi vegetasi mangrove. "Ini kita baru nyampe ke pantai sungai Ciletuh, tahun terbentuk dari batuan lumpur dan batuan pasir Ciletuh," katanya.

Gelombang kecil menyentuh badan perahu, memantul di sisi lambung yang mulai berkarat dan menimbulkan suara berderit pelan. Angin membawa aroma asin laut yang kental, bercampur bau solar dan kayu basah.

"Kalau di Bandung kan terkenal dengan lahar lumbung karena gunungnya di darat, kalau ini gunungnya di laut dinamakan lava bantal," kisah Saman sambil menatap ke arah tebing di kejauhan.

Ia mengangkat tangannya, menunjuk garis batu di bawah air yang tampak seperti gulungan hitam di antara hijau laut.

"Komplek Gunung Padang, formasi Ciletuh," lirihnya menambahkan.

Pulau Mandra, Nama dari Salah Dengar

Beberapa belas menit kemudian, tampak daratan kecil di kejauhan. Pulau itu tampak tenang, dengan beberapa bagan nelayan di sekitarnya.

Pulau kecil mulai tampak di kejauhan. Air laut di sekitarnya berwarna hijau muda, tenang di bawah cahaya sore. Beberapa bagan nelayan bergoyang perlahan, menandai perairan dangkal di sekitar pulau.

Saman mematikan mesin perahu sejenak, membiarkan kami mendekat dalam keheningan. "Jadi begini, cerita rakyatnya, mitosnya itu kenapa dinamain Pulau Mandra karena Pulau Mandra ini di sini dulu banyak orang Bugis dari Flores, Sulawesi," tutur Saman sambil menunjuk ke arah pulau.

Ia diam sejenak, seperti mengingat sesuatu. "Jadi kalau dia pagi-pagi bikin bagan kayak yang tadi Abang lewatin bagan-bagan, siang hari pada ngumpul di Pulau Mandra ini," lanjutnya.

Perahu bergoyang ringan terkena arus. Saman menatap ke arah muara Sungai Ciletuh. "Kebetulan dari Sungai Ciletuh ada dua sampan kecil, yang pertama itu satu orang, yang satu lagi orang Bugis merapat ke samping pulau tadi," ujarnya pelan.

Saman tersenyum, menirukan gaya bicara orang tua di kampung. "Nah karena udah banyak orang Bugis di sana, dia manggil ke temennya yang ada di perahu, 'woi manre, manre,' kedengaran sama orang Sunda, orang Sunda kan orangnya pintar-pintar dia menjelaskannya, salah ngambil kesimpulan berarti namanya Mandra, padahal manre itu bahasa Bugisnya makan, jadi Pulau Mandra ini kepanjangan kata dari kata mandre atau kata makan kata orang Bugis, terkenal sampai saat ini yang namanya Pulau Mandra," ujarnya sambil terkekeh kecil.

Pulau MandraPulau Mandra Foto: Syahdan Alamsyah/detikJabar

Pulau Kunti, Batu yang Tertawa

Perahu melaju lagi, melewati air yang semakin terbuka. Ombak kini datang dari arah selatan, memantul di sisi perahu. Saman menunjuk ke arah gugusan batu di kejauhan.

"Nah ke sana lagi kita akan menemukan yang namanya batuan basal atau orang sini mengenal dengan lava bantal. Kenapa bantal, itu sejenis batuan basal yang berawal dari gunung api purba di dasar laut yang erosi 60 juta tahun silam," katanya.

Pulau Kunti SukabumiPulau Kunti Sukabumi Foto: Syahdan Alamsyah

Ia lalu mengalihkan pandangan ke tebing berikutnya. Tebing itu menjulang tinggi, berlapis-lapis seperti buku batu yang terbuka di hadapan laut.

"Barulah ke Pulau Kunti, batuan khusus pusat subduksi lempeng Eurasia dan Indo Australia," kisah Saman, suaranya tenggelam sesaat oleh bunyi ombak di sisi perahu, "dia tersingkat, terbalik, jadilah Pulau Kunti. Baru rentetan Pulau Jawa terbentuk. Itulah yang namanya Geopark yang tercatat di UNESCO sebagai 100 negara. Sekarang nggak tahu, makanya setahu saya 77 Geopark baru dunia dulunya, dari 44 negara. Geopark Ciletuh salah satunya juga ada di Indonesia," ujarnya menutup dengan nada bangga.

Saman lalu menunjuk ke arah batu berongga di sisi kiri pulau. Permukaannya tampak basah diterpa gelombang.

"Nah cerita rakyatnya, kenapa dinamain Pulau Kunti, karena di sebelahnya itu ada komplek batuan komlomran atau batu Melan," katanya sambil menggerakkan tangannya, "itu bentuknya kaya dam ke bawah, ini kaya rongga-rongga kecil, jadi kalau dihantam gelombang 4 sampai 5 meter dia akan mengeluarkan gema mirip dengan orang ketawa. Dinamai lah Pulau Kunti, jadi bukan banyak kuntinya Kang di sini, tapi dari gema suara tersebut," imbuhnya.

Gua Purba atau Gua Anti Jomblo

Tak jauh dari Pulau Kunti, Saman menunjuk ke tebing lain yang menjorok ke laut. Ombak berdebum pelan di bawahnya, memantul ke dinding batu yang tampak kelam di bawah cahaya sore.

"Nah, ke sebelah sananya lagi, ada namanya gua purba Pulau Kunti," ujarnya sambil mencondongkan tubuh, menunjuk ke rongga gelap di sisi tebing.

"Usianya 60 juta tahun, terbentuk dari gunung bibir pantai yang dihantam terus sama gelombang laut, akhirnya ada proposal ke dalam 15 meter, tingginya 9 meter," katanya, matanya tak lepas dari dinding batu di kejauhan.

Gua Anti JombloGua Anti Jomblo Foto: Syahdan Alamsyah/detikJabar

Ia menarik napas sebentar sebelum kembali bercerita. Di dalam gua itu, katanya, tidak ditemukan batuan selektif atau salak mid karena gua kering.

"Cuman di sini ada mitos siapa aja yang masuk ke gua purba Pulau Kunti, pulangnya suka cepat dapat jodoh katanya," tuturnya pelan, lalu tertawa kecil, "ini baru mitos," lirihnya lagi.

Warga setempat kadang menyebutnya Gua Anti Jomblo. Beberapa pengunjung sengaja datang hanya untuk berfoto atau sekadar "menguji mitos".

Karang Kontol dan Keyakinan

Langit mulai berwarna tembaga. Matahari perlahan turun ke garis laut, meninggalkan pantulan cahaya di permukaan air yang berkilau. Angin laut bertiup hangat, membawa aroma asin yang lembut menusuk hidung.

Saman mengurangi kecepatan perahu dan menatap jauh ke depan. "Dari sana baru kita ke yang ujung, namanya punteun, dalam arti kata di sini punteun pisan, namanya Karang Kontol lah istilahnya," katanya, setengah tersenyum.

Dari kejauhan, batu besar itu tampak menonjol dari laut. Bentuknya ganjil, seperti dikeluarkan langsung dari perut bumi. Ombak berdebum di sisinya, meninggalkan buih di kaki batu.

"Kenapa di sana ada Karang Kontol, itu terbentuk dari batuan pasir bagian atas, gundukan besar," jelas Saman sambil menunjuk ke arah karang.

"Dia terhantam oleh gelombang laut, oleh abrasi air dan angin, akhirnya terbentuk seperti itu. Usianya 60 juta tahun," katanya, suaranya tenggelam sesaat oleh bunyi mesin perahu.

Saman terdiam sejenak, lalu menoleh pada kami, kali ini dengan nada lebih ringan. "Nah, kalau mitosnya tuh katanya siapa aja yang bisa megang benda itu bisa menambah suplemen atau tenaga lebih katanya untuk pria," ujarnya disertai tawa kecil.

Perahu berhenti perlahan di dekat batu itu. Laut tenang, hanya suara angin dan riak kecil yang terdengar. Senja menjalar di langit seperti api yang padam pelan-pelan, meninggalkan siluet Saman yang berdiri di ujung perahu diam, memandang batu tua itu seperti memandangi sesuatu yang lebih besar dari sekadar mitos.

Karang KontolKarang Kontol Foto: Syahdan Alamsyah/detikJabar

Pukul 17.35 WIB, matahari benar-benar turun. Langit berubah menjadi oranye pekat, lalu perlahan tembaga, sebelum akhirnya kelabu. Laut memantulkan cahaya terakhirnya, berkilau seperti serpihan kaca cair.

Perahu Wisata Ciletuh 03 berbalik arah menuju Palangpang. Ombak memukul haluan lembut, sementara di kejauhan Pulau Mandra dan Kunti sudah mulai tertelan bayangan malam.

Dari atas perahu, tampak laut, karang, dan pulau menyatu dalam satu garis tenang. Semua yang tadi bercerita kini diam, seolah waktu ikut menahan napas. Di ujung senja itu, Ciletuh bukan hanya lanskap geologi ia adalah tempat di mana alam, bahasa, dan keyakinan bertemu dalam satu kisah panjang yang terus hidup dari mulut ke mulut.

Halaman 3 dari 2
(sya/dir)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads