Gemuruh air terdengar jauh sebelum Curug Cimarinjung tampak di depan mata. Dari balik rindangnya pepohonan, muncul dinding batu raksasa berwarna cokelat kemerahan, seolah memegang rahasia masa lalu bumi. Air terjun setinggi lebih dari lima puluh meter itu jatuh deras dari tebing batu, membentuk kabut halus yang menari di antara bongkahan breksi vulkanik berusia jutaan tahun.
Menurut informasi resmi di panel UNESCO Global Geopark Ciletuh-Palabuhanratu, nama Cimarinjung berasal dari bahasa Siloka, Ci berarti air dan Marinjung atau Nunjung berarti air yang dipuja, atau air yang dibutuhkan.
Dalam pengertian masyarakat setempat, Cimarinjung adalah air yang memberi kehidupan. Airnya mengalir ke sawah-sawah di sekitar Ciemas, mengairi ratusan hektare lahan pertanian. Di aliran sungai yang sama, terdapat pula dua air terjun lain yang lebih kecil, Curug Dogdog dan Curug Nyelempet.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Air terjun ini berada di aliran Sungai Cimarinjung, Desa Ciemas, Kabupaten Sukabumi. Dalam legenda lokal, curug ini juga dikenal sebagai Curug Goong, mengacu pada cerita lama tentang suara gong misterius yang kadang terdengar dari arah tebing saat malam hari.
![]() |
Anwar, warga setempat tersenyum saat ditanya soal cerita itu. "Kadang malam suka kedengaran kayak suara gong dari arah tebing, pelan banget, kayak dari dalam batu," ujarnya sambil menatap jatuhnya air, Sabtu (4/10/2025).
"Kata orang tua dulu, itu alat musik ghaib yang dulu dipakai dalam upacara. Katanya hilang satu, dan sampai sekarang belum dikembalikan," sambungnya.
Keterangan serupa juga tertulis di panel. Disebutkan, masyarakat sekitar meyakini Curug Cimarinjung dulu adalah Keraton Alam Ghaib, tempat para makhluk halus menyimpan alat musik upacara. Salah satu alat musik itu hilang, dan hingga kini suara samar menyerupai gong dipercaya masih terdengar dari arah tebing.
Di balik kisah mistisnya, Cimarinjung adalah catatan geologi yang terbuka. Dinding curug tersusun dari lapisan batuan sedimen jenis batupasir tufan dan breksi vulkanik bagian dari Formasi Jampang anggota Cikarang yang berumur Miosen Bawah, sekitar 23-16 juta tahun lalu.
Batuan itu terbentuk dari material letusan gunung api purba yang membeku selama jutaan tahun, membangun lanskap Sukabumi bagian selatan yang kini jadi bagian dari Gawir Plato Jampang.
Masih dari panel informasi, proses pembentukan Curug Cimarinjung dipengaruhi oleh aktivitas tektonik yang juga menciptakan mega-amfiteater Ciletuh. Air sungai yang terus mengalir selama jutaan tahun mengikis tebing batuan vulkanik, menciptakan undakan dan kolam alami di bawahnya.
Air terjun terbentuk ketika lapisan batu keras menindih lapisan batu yang lebih lunak. Ketika sungai melewati lapisan lunak itu, erosi terjadi lebih cepat, membentuk langkah di dasar sungai.
Seiring waktu, air memperdalam kolam di bawahnya, sementara bagian atas runtuh perlahan, membuat air terjun bergeser ke arah hulu. Proses ini terus berulang, meninggalkan ngarai curam atau gorge seperti yang kini terlihat di Cimarinjung.
Dari dek pandang di depan lokasi, panorama curug tampak megah. Air jatuh dari tebing tinggi, membelah dua batu besar di bawahnya, lalu mengalir melalui celah-celah sempit menuju kolam yang berwarna kehijauan.
Di sisi kanan, batang pohon mati menggantung di dinding batu, di sisi kiri, rumpun pepohonan menaungi jalur bambu yang dilewati wisatawan.
Ersin, warga Jakarta yang datang bersama istrinya dan dua anaknya, berhenti lama di tepi pagar pandang. Ia mengangkat ponsel, memotret berkali-kali.
"Saya kira cuma air terjun biasa. "Ternyata ini lebih dari itu. Di bawahnya ada lapisan batu dari zaman purba. Saya sempat baca di panel, usianya sampai belasan juta tahun. Rasanya kayak lagi berdiri di tengah sejarah," ucapnya.
![]() |
Ia tersenyum sambil menepuk bahu cucunya yang masih asyik bermain cipratan air di bawah. "Cocok banget buat wisata edukasi. Anak-anak bisa lihat langsung bagaimana bumi terbentuk, bukan cuma dari buku," ujarnya.
Cimarinjung memang bukan sekadar destinasi wisata. Ia adalah buku terbuka tentang waktu, tentang bagaimana air sabar mengikis batu, bagaimana bumi menulis sejarah lewat lapisan-lapisan kerasnya, dan bagaimana manusia menafsirkannya lewat mitos dan kepercayaan.
Di antara kabut air yang menipis diterpa sinar matahari, suara gemuruh curug berpadu dengan desau angin dan dengung serangga. Seolah seluruh elemen alam sedang berbicara dalam bahasa yang sama bahasa yang sudah ada jauh sebelum manusia menamai tempat ini sebagai Curug Cimarinjung.
Simak Video "Video Liburan ke Bali Tapi Nggak Mau ke Tempat Ramai? Bisa ke Sini!"
[Gambas:Video 20detik]
(sya/mso)