Ombak Samudera Hindia menggulung tenang siang itu, memecah karang dan meninggalkan buih putih di tepi pantai. Di kejauhan, deretan batu purba memanjang seperti sisik naga raksasa yang tengah terlelap.
Warga menyebutnya Batu Punggung Naga. Sebagian percaya, ada legenda yang menyelimutinya, seekor naga purba menjaga keseimbangan alam di perairan Ciletuh, tak terlihat, tapi selalu ada.
Mitos itu hidup dalam cerita turun-temurun masyarakat sekitar. Mereka percaya, siapapun yang tidak menghormati kawasan ini akan mendapat 'peringatan'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tetapi, di balik kisah mistis itu, batu-batu ini menyimpan rahasia yang tak kalah luar biasa jejak perjalanan bumi yang terbentuk lebih dari 60 juta tahun lalu. Setiap guratan batu adalah fragmen sejarah, setiap retakan adalah saksi bisu proses raksasa yang membentuk Pulau Jawa.
![]() |
Warisan Purba
Batu Punggung Naga terletak di Desa Mandrajaya, Kecamatan Ciemas, tepat di kawasan Suaka Margasatwa Cikepuh, bagian dari zona inti UNESCO Global Geopark Ciletuh-Palabuhanratu.
Untuk mencapainya, wisatawan menempuh perjalanan sekitar satu jam dengan perahu dari Pantai Palangpang atau Pantai Cikadal.
Saat perahu mendekat, batu-batu raksasa ini terlihat semakin jelas: memanjang, bergerigi, seolah membentuk punggung naga yang menatap laut lepas. Bentuknya bukan kebetulan, tetapi hasil perjalanan panjang geologi purba.
General Manager Ciletuh Palabuhanratu UNESCO Global Geopark (CPUGGp), Aat Suwanto, menjelaskan bahwa batuan ini bagian dari Formasi Ciletuh, salah satu formasi batuan tertua di Jawa Barat.
"Formasi bebatuan ini terbentuk dari proses geologi jutaan tahun lalu. Batu Punggung Naga menjadi salah satu ikon wisata unggulan, tapi juga laboratorium alam yang penting untuk penelitian," ungkapnya saat ditemui detikJabar di Geopark Information Centre (GIC), Kamis (4/9/2025).
Berdasarkan informasi yang dihimpun detikaJabar dari GIC, formasi Ciletuh berasal dari zaman Eosen, sekitar 56 - 65 juta tahun lalu. Batuan yang membentuk Batu Punggung Naga adalah batupasir kuarsa, hasil sedimen laut purba yang mengeras akibat tekanan bumi selama jutaan tahun.
Menurut data Pusat Penelitian Geoteknologi dan Kebencanaan Geologi LIPI, bentuk unik bebatuan ini terbentuk akibat proses erosi, abrasi, dan pelapukan.
Perbedaan tingkat kekerasan antar lapisan batu, arus air, hantaman ombak, dan pengaruh iklim menciptakan relief alami menyerupai duri naga. Fenomena serupa juga membentuk batuan lain di kawasan ini, seperti Batu Kodok, Karang Hawu, dan Karang Bolong.
Di beberapa lapisan batu, peneliti juga menemukan fosil mikro seperti Numulites, organisme laut purba yang hidup jutaan tahun lalu. Penemuan ini menjadi bukti kuat bahwa wilayah Ciletuh dulu adalah dasar laut dalam, sebelum proses tektonik raksasa mengangkatnya menjadi daratan.i
Keindahan Batu Punggung Naga menjadikannya spot foto ikonik di Geopark Ciletuh. Permukaan batu yang menyerupai sisik naga dengan latar Samudera Hindia membuatnya menjadi salah satu destinasi favorit wisatawan.
Banyak peneliti, fotografer, dan mahasiswa geologi datang ke sini untuk mempelajari proses pembentukan batuan purba.
Namun, popularitas ini membawa tantangan baru. Beberapa waktu silam, foto-foto motorcross yang melintas di atas Batu Punggung Naga viral di media sosial. Aktivitas itu memicu protes karena dianggap merusak situs geologi berusia jutaan tahun.
Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Sukabumi, Sendi Apriadi, menegaskan pentingnya menjaga kelestarian situs ini.
"Kami mengimbau wisatawan untuk lebih menjaga kawasan ini. Batu Punggung Naga adalah warisan geologi dunia, jadi semua pihak perlu ikut serta melindunginya," ujarnya.
Sejak kejadian itu, akses menuju area inti Batu Punggung Naga dikendalikan lebih ketat. Pemerintah daerah, pengelola Geopark, dan masyarakat setempat bekerja sama mengawasi aktivitas wisata di lokasi ini.
![]() |
Antara Legenda dan Ilmu Pengetahuan
Legenda tentang naga penjaga laut membuat Batu Punggung Naga berbeda dari situs geologi lainnya. Bagi masyarakat setempat, batu ini bukan sekadar fosil alam, melainkan simbol keseimbangan antara daratan dan lautan. Cerita mistis itu berpadu dengan temuan ilmiah, membuat Batu Punggung Naga memikat banyak orang baik pencinta mitos maupun peneliti geologi.
Kini, Batu Punggung Naga menjadi salah satu ikon utama UNESCO Global Geopark Ciletuh-Palabuhanratu. Pemerintah, peneliti, dan warga bahu-membahu menjaga kelestariannya. Setiap guratan batu, setiap patahan, adalah jejak perjalanan bumi yang panjang, bukti kehidupan purba yang masih terukir hingga hari ini.
Mengunjungi Batu Punggung Naga bukan sekadar menikmati pemandangan, tetapi menyusuri waktu. Di antara ombak dan angin laut, mitos naga penjaga Laut Ciletuh hidup berdampingan dengan kisah sains tentang bumi. Dua dunia berpadu, menciptakan pesona yang tak lekang dimakan zaman.
(sya/orb)