Persoalan pungutan liar di kawasan wisata di wilayah Bandung kini muncul kembali dan sedang menjadi sorotan. Modusnya pun beragam, tapi yang paling sering dikeluhkan yaitu tarif parkir selangit yang membuat pengunjung kerap menjerit.
Jika tak percaya, lihat saja keluhannya berseliweran di sosial media. Keluhan-keluhan ini pun akhirnya diunggah lantaran banyak harapan dari wisatawan supaya pemerintah turun tangan dan menindaklanjuti kasus pungli itu secara signifikan.
Namun, di balik banyaknya keluhan wisatawan tentang kondisi itu, cerita berbeda justru ditunjukkan seorang juru parkir di Bandung bernama Jene (41). Sudah 18 tahun, Jene mengabdikan dirinya menjadi jukir di kawasan Tahura Ir H Djuanda sebagai mata pencahariannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat berbincang dengan detikJabar belum lama ini, Jene mengaku tak mematok tarif parkir tertentu untuk pengunjung yang datang ke Tahura Djuanda. Sebab menurutnya, kenyamanan pengunjung selalu diutamakan demi menekan terjadinya pungli di sana.
"Kalau parkir, dari dulu seikhlasnya aja, a, nggak dipatok. Mau Rp 2 ribu, Rp 5 ribu, nggak masalah, silakan aja," kata Jene saat memulai perbincangannya.
Sebagai gambaran, masyarakat yang bermukim di sekitar Tahura Djuanda memang ikut diberdayakan untuk keperluan operasionalnya. Masyarakat di sana, turut membantu mulai dari menjadi juru parkir, membuka warung jajanan, hingga menyediakan jasa penyediaan senter bagi pengunjung yang datang ke 2 gua legendaris di sana, yaitu Gua Jepang dan Gua Belanda.
Kebetulan, Jene saat ini diamanatkan menjadi koordinator parkir di area depan Tahura Djuanda. Lantaran menerapkan konsep donasi seikhlasnya, ia mengaku, dulu, sempat ada pengunjung yang malah terlewat membayar uang parkir saat kunjungan di sana begitu padat.
"Jadi dari dulu emang nggak dipatok, seikhlasnya aja. Sering malah kalau lagi ramai, itu ada yang nggak ngasih. Bilangnya udah aja," ucap Jene sembari tertawa.
Dengan topi abu-abu khasnya, Jene mengaku uang parkir di Tahura Djuanda tak seluruhnya masuk ke kantong pribadi para juru parkirnya. Nantinya, uang tersebut sebagian masuk ke kas organisasi di desa macam Karang Taruna hingga organisasi pemuda yang digunakan sebagai kebutuhan operasional sehari-harinya.
"Buat iuran Karang Taruna, atau desa. Itu nanti uangnya dipakai kalau ada warga yang lagi berduka misalnya punten, ada yang meninggal atau ada yang kena musibah. Terus uangnya juga dikumpulin buat pemuda di sini. Nanti buat beli keperluan operasional kayak sapu buat yang tukang bersih-bersih. Jadi dipakai buat operasional juga," ungkapnya.
"Jadi walaupun dikelola swadaya sama masyarakat, tapi kita mengedepankan supaya pengunjung di sini itu nyaman. Makanya udah lama enggak ada keluhan soal parkir, karena kitanya juga enggak matok tarifnya tapi seikhlasnya," tutup Jene dalam perbincangannya tersebut.
(ral/sud)