Perjalanan hidup berliku Eddy Ongkowijaya (47) agaknya kini dapat ia kenang dengan senyuman. Jatuh bangun perjalanan bisnis pria asal Indonesia yang telah 30 tahun menjadi diaspora di Singapura tersebut telah berbuah manis. Dari titik terendah kehidupan, Eddy berhasil meniti jalan hingga membuka lebih dari 100 gerai rumah makan di berbagai negara.
Ditemui detikJabar di sela peresmian salah satu rumah makan terbarunya di mal Cihampelas Walk Bandung, Sabtu (9/2/2025), Edy memaparkan kisah awal mula ia terjun ke dunia bisnis kuliner. Ia yang menghabiskan masa sekolah di Singapura tersebut harus menerima kabar pahit tentang kebangkrutan bisnis otomotif sang ayah.
Alhasil, ia yang biasa dikirimi ongkos untuk sekolah dan tinggal di Singapura harus memutar otak agar segera bisa menyambung hidup. Bahkan, ia pun kini harus ikut menjadi tulang punggung keluarganya yang terpaksa harus pindah menyewa rumah kecil di Tangerang. Sejak usia 18 tahun, Edy bekerja apa saja untuk bisa terus hidup dan membantu ekonomi keluarga di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Prinsip saya itu laki-laki boleh susah, tapi ibu dan adik perempuan saya jangan. Jadi saya kerja mati-matian demi mereka. Waktu itu saya kerja di empat tempat. Cuci piring, buang sampah, jadi waiter, sampa jadi ngajar les dan ngajar badminton," kenangnya.
Keadaan keluarga yang serba terbatas pun membuat dirinya kerap direndahkan, bahkan oleh orang-orang terdekat. Salah satu hal yang paling ia ingat adalah keraguan ibu mantan pacarnya terkait kondisi kerja Edy yang serabutan. Agar termotivasi, ia mengatakan pernah menyimpan foto sang ibu di dompet dan dinding kamar.
"Waktu itu dia bilang, anak saya mau dikasih makan apa, kamu kan kerjanya hanya cuci piring. Jadi saya simpan fotonya di dompet, saya pajang di tembok, biar setiap merasa capek jadi ingat untuk bisa buktikan diri," ungkapnya.
Edy pun akhirnya diterima untuk kerja kantoran. Namun, kondisi tersebut hanya bertahan selama dua tahun. Dengan modal nekat, ia pun memutuskan untuk berhenti kerja dan memulai petualangan bisnis kulinernya. Salah satu yang melatarbelakangi keputusannya tersebut adalah rasa rindu terhadap kuliner Indonesia.
"Waktu itu saya berpikir, di Indonesia kan banyak macam-macam ayam goreng yang terkenal, kenapa di Singapura tidak ada? Jadi saya dan rekan bisnis saya waktu itu memutuskan untuk membuka restoran Indonesia di Lucky Plaza Singapura di 2005. Restorannya laku dan sering antre cukup panjang," jelasnya.
Namun, selang beberapa tahun berjalan, ketidakcocokan membuat Edy harus hengkang dari manajemen dan mulai mencoba untuk membangun brand sendiri di 2009. Dalam perjalanannya membuka brand yang menjual ayam penyet tersebut, berbagai tantangan baru pun bermunculan.
Hampir Menyerah
Edy mengatakan, hengkangnya ia dari bisnis sebelumnya membuat ia cukup terpuruk. Tak sekedar penghasilan yang jelas berkurang, ia pun merasa gagal dan dikhianati. Ia bahkan sempat terpikir untuk mengakhiri hidupnya.
"Di tengah persaan galau itu, saya mendengar ada bisikan lembut yang bilang 'I will never leave you'. Perlahan saya taruh lagi pisau yang sudah saya taruh di pergelangan tangan. Suara siapa lagi itu kalau bukan Tuhan," kenangnya haru.
Ia pun mengaku mendapat dukungan besar dari sang pacar yang kini menjadi istrinya. Perlahan, Edy pun mulai percaya diri untuk mulai menata diri menjalani bisnis kembali. Modal untuk berbisnis pun ia dapat dari jalan yang tak disangka-sangka.
"Jadi ternyata customer yang suka saya layani di resto itu 'ngeh' kalau saya sudah enggak di sana lagi. Mereka nyari, Pak Edy kemana ya. Ketika tahu saya lagi coba mulai bisnis baru, mereka patungan mengumpulkan uang untuk modal saya jualan," ungkapnya.
Baca juga: Siapa Pemilik Gorengan Cendana? Ini Sosoknya |
Dengan modal yang terkumpul, ia kemudian memulai perjalanan D'Penyetz di sebuah sudut kecil foodcourt di Jurong Point Singapura. Kala itu, juru masak D'Penyetz adalah juru masak yang pernah bekerja untuk Edy dan rekannya di restoran terdahulu.
Baru satu minggu beoperasi, perkara baru pun muncul. Di saat Edy masih mengurus persyaratan izin kerja untuk sang juru masak yang merupakan WNI, ia mendapati kedainya ditutup. Ia dituduh memasukkan pekerja ilegal.
"Padahal saya sedang ngurus izin kerjanya, masih nunggu proses. Akhirnya ibu (juru masak) dideportasi dulu selama tiga hari, harus pulang ke Jogja. Saya juga nunggu proses pengadilan dulu selama enam bulan. Akhirnya saya didenda 18 ribu dollar," ungkapnya.
Dalam rentang waktu tiga hari itulah, Edy kemudian memutuskan untuk mulai belajar memasak. Bermodalkan kompor dan alat masak ala kadarnya, ia coba mulai mendalami menu-menu yang akan ia jual.
Sukses Buka 138 Cabang
Meski dengan susah payah, bisnis D'Penyetz pun mulai berjalan dan meraup untung. Ayam khas Indonesia yang dijual di Singapura tersebut kemudian melebarkan sayap untuk membuka cabang di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 2011. Setahun kemudian, ia pun terpikir untuk membuka cabang berikutnya di Jakarta.
"Teman saya bilang saya gila berani-beraninya buka kedai ayam penyet di Jakarta. Saingannya bakal banyak banget. Ternyata, setelah kita buka di ITC Roxy Mas waktu itu, kedainya booming. Pengunjung juga kaget kalau awalnya D'Penyetz itu dari Singapura," paparnya.
Dari sanalah bisnisnya perlahan tapi pasti mulai terus berkembang ke berbagai negara. Tak berselang lama, D'Penyetz merambah Myanmar, lalu Brunei Darussalam, dan terakhir Australia.
"Sekarang kita ada di 138 outlet yang tersebar di enam negara itu. Tahun ini kita juga akan buka di Perth, Australia, dan saya akan berangkat ke Timur Tengah," ungkapnya.
(yum/yum)