Mr Raden Samsoedin menjadi salah satu tokoh pejuang Sukabumi yang berperan besar dalam kemerdekaan Indonesia. Sejarah mencatat, ia menjadi pribumi pertama yang menjabat sebagai Wali Kota Sukabumi ketika zaman penjajahan Jepang dan saat naskah proklamator dibacakan Ir Soekarno.
Usai proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan masih terus berlanjut. Salah satu peristiwa heroik yang menandai perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan itu adalah pertempuran Bojong Kokosan yang terjadi di wilayah Sukabumi pada 9 Desember 1945.
Setelah Jepang kalah di Perang Dunia II, agresi tentara Sekutu yang diboncengi pasukan Belanda (NICA) segera mendapat perlawanan dari rakyat Indonesia. Perlawanan bersenjata dari pejuang kemerdekaan pun merebak di berbagai daerah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketua Yayasan Dapuran Kipahare Irman Firmansyah mengatakan, ketika pasukan Inggris mendarat di Jakarta, situasi Sukabumi sedikit tegang karena konvoi pasukan Inggris yang diboncengi NICA tidak melibatkan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dalam pengawalannya.
Letkol Eddie Soekardi selaku Komandan Resimen III TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang membawahi Bogor, Sukabumi dan Cianjur lalu berdiskusi dengan Wali Kota Sukabumi Mr Raden Samsoedin. Hasil dari pertemuan itu muncul kesepakatan tak tertulis bahwa TKR Sukabumi harus mengadang konvoi pasukan Inggris karena tidak ada izin dari TKR pusat serta tidak ada tanda-tanda diikutsertakannya pihak TKR.
"Terjadilah perang konvoi pertama yang dikenal juga sebagai perang Bojongkokosan yang membuat pasukan Inggris mogok dan tidak mau melanjutkan perjalanan ke Bandung. Inggris kemudian mengirimkan utusan ke rumah Mr Raden Samsoedin di dekat Alun-alun Sukabumi," kata Irman kepada detikJabar beberapa waktu lalu.
Irman mengatakan, pertemuan antara pasukan Inggris dengan Raden Samsoedin berlangsung di Jalan Kaum, Kota Sukabumi. "Perwakilan Inggris dari Bogor menemui beliau dirumahnya," ujarnya.
Dia melanjutkan, Mr Raden Samsoedin berperan aktif sebagai negosiator. Debat kusir antara keduanya pun sering kali terjadi. Tak terkecuali dengan pihak garis keras Sukabumi yajtu Mr Harun dan Eddie Soekardi.
"Tapi karena rasa hormat kepada Mr Samsoedin, maka semua ikut keputusan perundingan. Dalam pertemuan itu Samsoedin menyampaikan protes keras kepada pihak Inggris terhadap pelanggaran yang tidak melibatkan TKR," katanya.
Pertemuan negosiasi dengan tentara Inggris juga dihadiri oleh dr. Abu Hanifah selaku Kepala Rumah Sakit Lidwina (saat ini RSUD Syamsudin SH), RH Didi Soekardi (ayah dari Komandan Resimen Eddie Soekardi yang juga tokoh nasional), Bupati Sukabumi Mr. Harun dan Komandan Resimen III TKR Eddie Soekardi serta Mayor Abdulrahman yang diundang atas permintaan Mr. Syamsudin.
"Dalam kesempatan itu pihak Inggris memohon untuk diberikan jaminan dalam melanjutkan perjalanannya. Sementara pihak tentara keamanan rakyat (TKR) meminta untuk pelibatan TKR dalam pelucutan Jepang dan penanganan tahanan sesuai perjanjian antara pihak Inggris dan Indonesia," sambungnya.
Akhirnya, disepakati untuk kembali ke awal perjanjian di mana semua pengurusan tawanan akan melibatkan TKR. Sejak itu dimulailah penanganan urusan pengiriman perbekalan untuk APWI Bandung dengan melibatkan TKR. Tawanan yang hendak dibebaskan Sekutu itu dikenal dengan sebutan Allied Prisoners of War and Intenees (APWI).
Bulan September 1946, Samsoedin mundur dari jabatan Wali Kota Sukabumi dengan alasan ingin fokus membangun Hisbullah, sementara posisinya digantikan oleh Soeria Hoedaja, seorang pejabat dari Bogor. Samsoedin menjadi anggota Masjumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dan duduk sebagai anggota Dewan Partai sebagai perwakilan POI (Persatuan Oemat Islam) Sukabumi.
"Saat terjadi agresi militer Belanda keSukabumi, beliau yang mengobarkan bumi hangus dengan ancaman jika Belanda menguasai Sukabumi makabumi hanguskan kota. Dalam suasana genting akibat agresi Belanda,Samsoedin turut bergerilya diSukabumi selatan dan kemudian ikut hijrah ke Yogyakarta beserta pejabat pemerintah RI lainnya sebagai konsekuensi dari perjanjian Renville antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda," jelasnya.
Sempat Difitnah Media Belanda
Pada 11 November 1947 sampai 29 Januari 1948, Mr Samsoedin menjadi Wakil Perdana Menteri I berdasarkan hasil reshuffle mewakili Masyumi pada Kabinet Mr. Amir Sjarifuddin atau Kabinet RI VI. Dalam Kabinet Presidensil yang dipimpin oleh Muhammad Hatta, Samsoedin diangkat menjadi Menteri Penerangan menggantikan Mohammad Natsir yang mengundurkan diri secara pribadi dari kabinet.
"Pada masa inilah beliau banyak difitnah media Belanda karena dianggap tokoh yang terang-terangan anti Belanda, media menuduhnya juga anti Tionghoa karena pidatonya yang meminta Tionghoa untuk netral, padahal pidato tersebut ditujukan kepada Tionghoa yang berada di wilayah pendudukan Belanda supaya tidak mendukung Belanda," ungkapnya.
Meski sempat difitnah secara terang-terangan, karir Samsoedin semakin moncer. Pada 4 Agustus 1949 dia diangkat menjadi Menteri Penerangan mewakili Masyumi pada Kabinet Perdana Menteri Drs. Moh, Hatta atau Kabinet Presidensieel RI IX.
Kemudian berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1949, tanggal 20 Desember 1949 sampai 21 Januari 1950 menjadi Menteri Penerangan mewakili Masyumi pada Kabinet RIS Pimpinan Drs. Moh. Hatta atau Kabinet RI X).
"Setelah pemerintah RIS terbentuk (era Kabinet Perdana Menteri Muhammad Natsir jilid 2) beliau diangkat menjadi Duta Besar Luar Biasa berkuasa penuh pada Pemerintah Republik Pakistan berdasarkan Keputusan Presiden RIS Nomor 75 Tahun 1950, dan jabatan ini merupakan jabatan yang terakhir dalam pemerintahan," kata Irman.
Sebelum meninggal dunia, Samsoedin sempat dirawat karena penyakit lever. Raden Samsoedin sempat dirawat di RS Salemba, Jakarta. Pada 15 Oktober 1950, Samsoedin meninggal dunia dan dibawa ke Sukabumi, disalatkan di Masjid Agung serta dimakamkan di TPU Ciandam.
"Dari jasanya yang luar biasa terhadap bangsa dan negara Indoneisa, beliau layak menyandang gelar pahlawan," tutupnya.