Sosok tokoh di Kota Sukabumi yang hidup pada zaman Hindia-Belanda selalu menarik untuk diulas. Selain berperan sebagai edukasi bagi kaum milenial, pemikiran dan kiprahnya pun meninggalkan sejarah penting dalam membangun fondasi kemerdekaan bangsa Indonesia.
Salah satunya RH Ahmad Djoewaeni. Nama tersebut mungkin sangat asing di telinga masyarakat. Padahal, ia merupakan perintis Pengadilan Agama, penghulu sekaligus pemberi wakaf (wakif) Masjid Agung yang saat ini menjadi ikon Kota Sukabumi.
Sebelum orang-orang Eropa (Belanda) menguasai Jawa, jabatan penghulu terdapat di lingkungan keraton dan di kabupaten-kabupaten yang menjadi bawahan kekuasaan Kesultanan, Kasunanan, Mangkunegara atau Pakualaman.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah orang-orang Eropa menguasai pulau Jawa, terutama sejak masa pemerintahan Gubernur Jendral Deandles, penghulu di setiap kabupaten mulai ditarik ke dalam lingkungan pengadilan negeri (landraad) yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda.
Ketua Yayasan Dapuran Kipahare, Irman Firmansyah mengatakan, pengadilan agama atau kepengulonan memiliki landasan yang kuat yaitu dengan lahirnya Staatsblad tahun 1882 nomor 152. Di dalamnya diatur komposisi pengadilan agama yaitu seorang penghulu sebagai ketua dan 3-8 orang sebagai anggota.
"Tugasnya menetapkan perkara yang harus diputuskan menurut hukum Islam seperti perihal perkawinan, pembagian warisan dan lain sebagainya, penghululah sebagai pemutusnya," kata Irman kepada detikJabar, Minggu (29/1/2023).
Sukabumi sendiri baru muncul ketentuan tentang penghulu sejak dibentuknya afdeling Sukabumi tahun 1870. Penghulu pertama yang ditunjuk pada 1872 yaitu RH Husen bin RH Hamzah yang merupakan ayah dari RH Ahmad Djoewaeni.
"Beliau pun lebih terfokus mengurusi talak, kawin, cerai serta pengurusan imam, muazin dan merbot di mesjid-mesjid. Persyaratan calon penghulu baru muncul sekitar tahun 1894 di mana sang calon harus menyertakan biodata. Saat muda beliau berguru ke Makkah dan Madinah selama beberapa tahun," ujarnya.
RH Ahmad Djoewaini yang lahir pada 23 Juli 1876, sempat menjabat khalifah di distrik Gunung Parang pada Juli 1900, kemudian diangkat sebagai Wakil Penghulu landraad. Ia baru diangkat sebagai penghulu secara resmi oleh Pemerintah Hindia Belanda pada usianya yang ke 36 tahun, tepatnya pada 11 November 1912.
"Beliau sangat aktif dalam dunia pendidikan. Pada tahun 1915 beliau mendirikan lembaga pendidikan Islam formal pertama yaitu Ahmadiahschool Soekaboemi di atas tanah miliknya seluas 2.700 meter persegi. Pada masa itu, sosok yang memiliki jabatan tentunya sangat terhormat dan cukup kaya, konon gajinya sekitar 75 gulden (Rp623.178)," jelasnya.
Seorang penasihat pemerintah Hindia Belanda, dosen sekaligus ahli agama Islam, Guillaume Frédéric Pijper melukiskan RH Ahmad Djoewaeni sebagai seseorang yang pandai dan beradab serta memiliki kecenderungan meniru kehidupan bangsa Eropa dengan sangat hati-hati. Tahun 1916 ia mengadakan pertemuan dengan para tokoh Sukabumi dan Batavia dalam rangka pembentukan komite Tangguh Hindia Belanda untuk kelayakan masyarakat.
Irman menjelaskan, dalam Staatsblad No 119, tahun 1917 menyebutkan jika jabatan penghulu landraad merangkap sebagai Imam Masjid sehingga otomatis RH Ahmad Djoewaini menjabat juga sebagai Imam Masjid Agung. Tugasnya mengepalai seluruh pegawai Masjid Agung serta mengatur ikhwal peribadatan, mengimami sholat, menjadi khatib, mengurus kas masjid dan lain-lain.
"Secara umum tugas beliaupun sangat luas tidak seperti penghulu sebelumnya. Selain sebagai qadi atau hakim yang mengurusi nikah, talak, cerai rujuk, juga sebagai mufti yang menjadi penasihat pengadilan umum serta bupati. Tugas lainnya juga melakukan penyuluhan soal penyakit dan mengawasi pesantren, tugas yang agak riskan karena seringkali berurusan dengan pendapat ulama lain," katanya.
Oleh sebab itu, kata dia, tak heran terjadi friksi antara RH Ahmad Djoewaeni dengan ulama lain, misalnya soal pengaturan uang zakat serta transliterasi Al-Qur'an ke latin. Namun beliau juga menyelesaikan kontradiksi itu dengan bijak melalui diskusi, misalnya mempertemukan ulama pakauman yaitu KH Uyek Abdillah dengan KH Ahmad Sanoesi dalam sebuah majelis pada Maret 1921.
Pakar Sejarah Sukabumi
Selain kiprahnya di dunia pendidikan Islam, Ahmad Djoewaeni juga menunjukkan bakatnya dalam bidang sejarah. Pada Juli 1921, RH Ahmad Djoewaeni menjelaskan sejarah Sukabumi saat pelantikan Bupati pertama Sukabumi yaitu Suryanatabrata.
"Bercerita dalam bahasa Sunda tentang sejarah sejak tahun 1871 sebagai pemekaran wilayah, kemudian perubahan Cikole menjadi Gunungparang tahun 1841 serta mengucapkan selamat atas nama masyarakat. Beliau juga kerap diminta bantuan sebagai saksi ahli dalam kasus pengadilan seperti kasus bapak Adna dan Haji Padil tentang perampokan pada Agustus 1921," ucap dia.
"Tahun 1928 beliau diangkat sebagi hoofd panghoeloedan setahun kemudian mendapatkan penghargaan bintang perak besar atas kesetiaan dan prestasinya," tambahnya.
RH Achmad Djoewaeni sempat menuntut ilmu ke Madinah, Makkah, Mesir dan Palestina sekaligus beribadah selama 10 bulan (1929-1930) memanfaatkan fasilitas cuti asing. Beliau meninggal pada 25 Mei 1940, beberapa bulan sebelum masuknya Jepang ke Hindia Belanda.
Saat meninggal dunia, RH Ahmad Djoewaeni telah pensiun dari jabatannya sebagai penghulu selama 28 tahun. Kondisi fisiknya sakit-sakitan, namun hingga akhir hayat beliau dikenal sebagai ulama yang punya pengetahuan agama yang luas dan bijaksana.
(yum/yum)