Sudah satu dekade Indonesian Bamboo Community (IBC) membawa bambu naik kelas. Dari bambu yang diproduksi secara tradisional, kini bambu naik ke kelas internasional.
Pemilik nama ilmiah Bambusoideae merupakan tanaman yang mudah ditemui di Indonesia. Dari bambu, alat musik seperti angklung, calung, hingga alat perkakas sehari-hari dapat diciptakan.
Itu merupakan olahan bambu tradisional. Oleh IBC, bambu dapat dibuat menjadi sejumlah alat musik modern, seperti biola, gitar, hingga drum yang diminati oleh pecinta musik lokal bahkan benua biru.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hafid Fadilah (28), Wakil Ketua IBC menuturkan, IBC diirikan pada 30 April 2011 silam oleh ketua dari IBC saat ini Adang Muhidin. Perjalanan lebih dari satu dekade ini bukanlah usia yang mudah untuk diraih.
Berawal dari keresahan komunitas ini akan kondisi bambu yang makin dipinggirkan. Padahal, bambu mudah tumbuh di mana-mana, namun nilainya amat lah rendah. Selain itu, Indonesia termasuk dalam 7 negara luasan tanaman bambu terbesar di dunia.
Dari keresahan itulah, mereka mencoba untuk membuat bambu yang memiliki nilai tinggi. Membuat biola menjadi awal dari segalanya. Dari sinilah nama IBC mulai dikenal akan keunikannya.
"Di Jawa Barat itu banyak, hampir seperti rumput, di mana-mana ada, murah. Kita itu ingin mengubah mindset si bambu buka hanya buat kursi atau meja atau tangga. Kita ingin lebih ke inovasi-nya begitu," ucap Hafid beberapa waktu lalu.
![]() |
IBC pun bekerjasama dengan salah satu universitas untuk mengetahui seberapa berkualitas dan unggul buatan mereka itu. Diperlukan waktu tiga tahun untuk dapat menemukan pakem biola yang tepat dan menjadi ciri khas buatan IBC.
Setelah biola dirasa cukup, karya berikutnya adalah gitar. Alat musik ini umum dibuat dengan bahan kayu. Gitar ini pula-lah yang akhirnya dapat membawa produk bambu ini ke luar negeri.
Hafid mengatakan, produk garapan IBC, khususnya gitar, banyak diminati pecinta musik dan kolektor dari dalam negeri maupun luar negeri. Gitar bambu sudah terbang hingga negeri tirai bambu bahkan Jerman.
"Untuk penjualan ke Malaysia, Filipina, Rumania, Jerman, Belgia, dan China," ucap Hafid.
Saat ini, ada sejumlah produk musik yang sudah mereka ciptakan di antaranya, biola, gitar hingga drum. IBC mematok harga produk alat musik buatanya dari mulai Rp 3,5 juta hingga Rp 30 juta.
"Tergantung pesanannya seperti apa, karena kita saat ini baru bisa membuat sesuai pesanan dulu," ungkapnya.
Meski begitu, Hafid menilai minat masyarakat Indonesia terhadap produk olahan bambu khususnya produk IBC masihlah minim. Hanya beberapa kalangan yang mengapresiasi karya mereka.
"Kalau apresiasi sebetulnya lebih banyak dari luar. Kalau dari Indonesia hanya hitungan jari. Kalau enggak pejabat ya kolektor," tuturnya.
Maka dari itu, IBC pun ingin mencoba mendekatkan produknya kepada masyarakat umum dengan produk dan harga yang lebih terjangkau. Di antaranya, jam tangan, tumbler, speaker, frame kacamata hingga flash disk.
"Kita udah bisa ngolah hampir 70 persen bambu, 30 persen sisanya ada yang terbuang, ada yang ke craft juga," kata Hafid.
![]() |
Produk kraft atau buah tangan dibuat dari sisa bambu yang tidak terpakai dan tetap memiliki kesan lokal nan modern.
Selain itu, IBC pun membentuk Virage Awi pada 2014, yang fokus pada sektor pemasaran dan bisnis bagi produk bambu yang dibuat. Sedangkan IBC, berfokus pada pengembangan sumber daya manusianya.
Sejumlah masyarakat ikut dalam sejumlah pelatihan membuat produk olahan bambu. Bukan hanya di Jabar saja, sejumlah daerah di luar Jabar pun pernah mengikuti pelatihan oleh IBC.
Bukan hanya itu, sebuah band bernama D'bamboo Esensial didirikan oleh IBC. Semua alat musik yang dipakai merupakan olahan dari bambu.
"Alhamdulilah dengan begitu nilai kegunaan bambu dapat tersebar ke masyarakat lewat produk bahkan lewat musik," tuturnya.