Sodikin, Ujer dan Jajang, tiga pria yang mengaku Jenderal NII bikin heboh usai menyebar konten propaganda. Kisah mereka berakhir di balik jeruji besi.
Akhir tahun 2021 silam, tepatnya pada bulan Oktober, warga Garut dihebohkan kemunculan sebuah video berisi aksi tiga orang pria membawa bendera Negara Islam Indonesia (NII).
Dalam video berdurasi 2 menit 23 detik tersebut, menampilkan tiga orang pria berjalan beriringan. Seorang di antaranya, berkaus merah, mengibarkan bendera bergambar bulan dan bintang yang diklaim bendera NII.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Usai berjalan menyusuri pemukiman, sang pembawa bendera kemudian melontarkan perkataan, yang berisi ajakan untuk masuk NII.
"Saya sampaikan kepada seluruh dunia internasional dengan atas nama PBB untuk segera memasuki Negara Islam Indonesia. Silakan welcome-welcome," ujar pria tersebut.
Di video tersebut, sang pria berkaus merah yang mengaku berpangkat Panglima Jenderal NII itu juga menyebut Imam Besar NII, SM Kartosoewirjo.
"Imam Besar SM Kartosoewirjo Khalifah dunia, Bapak Drs. Sensen Komara BM Esa dan saya Panglima Jenderal DI/TII NII, tiga jenderal DI/TII welcome-welcome silakan memasuki Negara Islam Indonesia," katanya.
Video itu lama menjadi perbincangan dan cukup menggegerkan warga Garut pada saat itu. Usai diselidiki pihak berwenang, video tersebut dipastikan diambil di wilayah Kabupaten Garut.
Empat bulan berselang, tepatnya di bulan Februari 2022, pihak kepolisian memberikan penjelasan terkait kasus video yang disebut sebagai propaganda dari kelompok aliran sesat NII itu.
Ketiga pemeran di dalam video yang belakangan diketahui bernama Ujer Januari, Jajang Koswara dan Sodikin alias Odik itu akhirnya ditangkap dan dijebloskan ke penjara.
Dari hasil penyelidikan, ternyata terungkap tak hanya satu video yang dibuat ketiganya, melainkan 57 video. YouTube dipilih jadi sarana penyebaran. Mayoritas isi videonya adalah ajakan masuk NII.
"Dari beredarnya video terkait tiga orang yang melakukan penegasan terkait kegiatan makar yaitu mendirikan Negara Islam Indonesia. Kontennya sudah mencapai 57 video," kata Kapolres Garut AKBP Wirdhanto Hadicaksono, Kamis 3 Februari 2022.
Dari hasil penyelidikan polisi, diketahui jika video-video itu dibuat dan diunggah di YouTube sejak tahun 2019 silam. Ketiga Jenderal NII itu mengaku nekat mengunggah video di medsos atas dasar perintah dari Presiden NII Sensen Komara yang kini sudah meninggal dunia.
Atas dasar keterangan para pelaku, saksi dan alat bukti yang ditemukan, polisi menduga terjadinya tindak pidana makar. Jajang, Ujer dan Sodikin bahkan dijerat hukuman berlapis.
Yakni Pasal 110 Jo Pasal 107 KUHP tentang Makar, Pasal 28 Jo Pasal 45 UU ITE dan Pasal 24 D Jo Pasal 66 UU Bendera, Bahasa dan Lagu Kebangsaan dengan ancaman hukuman 15 tahun.
Singkat cerita, polisi kemudian melengkapi berkas penyidikan dan melimpahkannya ke kejaksaan. Kamis, 17 Februari 2022 ketiganya kemudian menjalani proses persidangan yang pertama di PN Garut, Jalan Merdeka, Kecamatan Tarogong Kidul.
Di persidangan berikutnya, majelis hakim mencari fakta-fakta untuk mengadili ketiganya. Berbagai saksi dan ahli didatangkan. Mulai dari Kapolsek, hingga camat.
Ahli bahasa juga dihadirkan. Ahli Linguistik Forensik Andika Duta Bahari yang dimintai keterangannya menyampaikan jika aksi yang dilakukan ketiganya sudah memenuhi unsur makar.
"Ada niat meniadakan kepemimpinan yang sah. Itu sudah makar. Dari pernyataan yang dia sampaikan, dia menginginkan berdirinya NII," kata Andika.
Beragam fakta juga terungkap dari jalannya rangkaian persidangan yang dilaksanakan di PN Garut. Trio Jenderal ini mengakui jika mereka yang memproduksi dan mengunggah video itu ke YouTube.
Namun, mereka mengaku tidak tahu jika apa yang mereka lakukan melanggar hukum. Selain itu, mereka diketahui dinobatkan sebagai jenderal NII pada tahun 2019 oleh Sensen Komara.
"Mereka juga tidak memiliki pengikut. Dan semua alat yang digunakan dalam video, itu diberikan oleh Bapak Sensen Komara," kata kuasa hukum ketiga terdakwa, Ega Gunawan.
Aksi itu dilakukan atas dasar loyalitas mereka terhadap Sensen Komara. Ega menjelaskan, Jajang, Ujer dan Sodikin sudah meminta maaf usai ditangkap dan berjanji setia kembali ke NKRI.
Sama dengan pasal-pasal yang disangkakan polisi, jaksa penuntut umum juga menjeratkan pasal yang serupa kepada ketiga terdakwa. Namun, bedanya ketiga terdakwa dijerat dengan ancaman hukuman yang berbeda.
Sodikin dan Jajang diancam dengan hukuman yang lebih berat, yakni 5 tahun bui. Sedangkan Ujer, hanya dituntut 2 tahun penjara. Hal tersebut terjadi karena Ujer dianggap memiliki peran yang lebih kecil ketimbang dua rekannya.
"Karena memang di fakta persidangan, yang bersangkutan itu hanya dipakai tempat atau rumahnya saja. Itu kita tuntut dua tahun," ungkap Kasi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Garut Ariyanto.
Usai melalui serangkaian proses persidangan, ketiganya kemudian tiba pada fase akhir. Dalam sidang beragendakan vonis yang digelar di PN Garut, Kamis (23/6) siang kemarin, majelis hakim dipimpin Ketua PN Garut Harris Tewa membacakan putusan terhadap ketiganya.
Dalam amar putusan, ketiga terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 110 KUHP tentang Makar dan Pasal 66 Jo Pasal 24 UU RI Nomor 24 Tahun 2009 terkait Penghinaan Lambang Negara.
Sesuai dakwaan, Sodikin dan Jajang mendapat hukuman yang lebih berat yakni 4 tahun 6 bulan dibanding Ujer yang hanya dijatuhi hukuman 1 tahun 6 bulan. Namun, vonis yang dijatuhkan majelis hakim lebih ringan ketimbang tuntutan jaksa.
"Menjatuhkan pidana penjara oleh karena itu terhadap terdakwa 1 Jajang Koswara, terdakwa 2 Sodikin alias Odik masing-masing selama 4 tahun dan enam bulan. Dan terdakwa tiga Ujer Januari dengan pidana penjara selama satu tahun dan enam bulan," kata Harris Tewa.
Ada beberapa hal-hal yang meringankan ketiga terdakwa. Di antaranya adalah penilaian majelis hakim yang menganggap ketiga terdakwa bersikap sopan dan kooperatif selama jalannya persidangan.
"Terdakwa juga sudah menyatakan kembali ke NKRI," katanya.
Dari vonis tersebut, ketiga terdakwa menyatakan pikir-pikir. Hal itu juga dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Kuasa hukum Ega Gunawan mengatakan, langkah pikir-pikir diambil sebagai bagian hak dari para terdakwa.
"Tapi kami menilai putusan majelis hakim sudah sangat bagus," ungkap Ega.
(yum/yum)