Manis pahit kehidupan di tengah laut telah dirasakan Ateng selama bertugas menjadi nahkoda. Ada kalanya ia merasa senang, namun tidak jarang juga dihinggapi kengerian luar biasa saat kapalnya diterjang ombak besar.
Siang itu, cuaca di kawasan Pelabuhan Cirebon cukup terik saat jarum jam menunjukkan sekitar pukul 1 siang. Ateng dengan seragam putih khas nahkoda tengah bersiap di ruang navigasi.
Saat itu, Kapal Geomarin III milik Kementerian ESDM yang dinakhodai Ateng akan sea trial usai menjalani perawatan berkala. Sea trial dilakukan di laut utara Cirebon selama dua hari, yakni mulai dari 10-11 Desember 2024.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi Ateng, menahkodai kapal dengan panjang 61,7 meter itu bukan hal baru. Ateng mulai mendapat tugas menjadi nahkoda Geomarin III sejak tahun 2021 silam.
"Saya ditunjuk jadi nahkoda tahun 2021. Sebelum jadi nahkoda saya Mualim 2. Saya ke sini 2015 karena memang Geomarin I sudah purna bakti, jadi dipindah ke sini," kata Ateng saat berbincang dengan detikJabar di Pelabuhan Cirebon, baru-baru ini.
Selama betugas di atas kapal, ada beragam pengalaman yang pernah dirasakan Ateng bersama rekan-rekannya. Berbagai kondisi mengejutkan dan tak terduga bisa saja dialami Ateng saat ia bertugas.
Ateng lalu menceritakan salah satu pengalaman yang menurutnya sangat menegangkan. Hal ini terjadi saat kapal Geomarin III berlayar ke Samudera Hindia untuk melakukan pemasangan alat pendeteksi tsunami.
"Kalau saya pribadi menganggap semua pengalaman berkesan. Hanya mungkin ada satu pada saat kegiatan di Samudera Hindia, tepatnya dekat kepulauan Andaman waktu tahun 2018," kata Ateng.
"Kegiatannya waktu itu adalah pemasangan buoy. Itu alat untuk mendeteksi tsunami," terang dia.
Di tengah kegiatan tersebut, kata dia, suasana terasa begitu menegangkan saat kapalnya diterjang gelombang besar yang tingginya mencapai lebih dari 8 meter. Di tengah kondisi alam yang kurang bersahabat, kegiatan kapal pun terpaksa dihentikan.
"Pada saat kegiatan itu kami terkena gelombang. Tinggi gelombangnya saya perkirakan sudah di atas 8 meter. Kami pun menghentikan kegiatan dan berusaha kembali ke Sibolga Sumatera Utara," terang Ateng saat mengenang situasi menegangkan yang ia alami.
Di tengah kondisi itu, Ateng bersama rekan-rekannya masih harus berjibaku untuk membawa kapal keluar dari situasi sulit. Ateng mengaku tidak bisa berbuat banyak selain terus berusaha dan berdoa.
Baru dua hari kemudian, Ateng bersama kawan-kawannya akhirnya bisa membawa kapal keluar dari gelombang besar menuju ke wilayah yang lebih aman.
"Untuk kembalinya sulit. Kami hampir dua harian untuk keluar dari zona berbahaya. Saya pribadi sudah pasrah karena memang lihat kondisinya sudah tidak memungkinkan. Selain berdoa saya pasrah saja sambil bawa kapal. Alhamdulillah masih diberi keselamatan dan sampai saat ini masih bisa bekerja di Geomarin III," ucap Ateng.
Kisah tersebut menjadi salah satu pengalaman bagi Ateng selama berlayar ke tengah lautan. Saat ini, Ateng masih setia menjalani tugasnya sebagai nahkoda di kapal Geomarin III.
Ia mengatakan, keselamatan merupakan hal penting yang harus selalu diperhatikan selama menjalani tugas.
"Pada saat gelombang besar memang itu tantangannya. Ketika cuaca mendukung itu mungkin lebih nyaman. Geomarin sendiri, pada saat kegiatan kami lebih mementingkan keselamatan. Artinya jika Geomarin III tidak memungkinkan melaksanakan kegiatan, kami biasanya berlindung dan mencari tempat aman," kata dia.
Kapal Geomarin III ini adalah kapal milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kapal tersebut digunakan untuk kegiatan survei dan pemetaan geologi kelautan.
Menurut Ateng, Geomarin III mulai beroperasi sejak tahun 2009. Kapal tersebut memiliki panjang 61,7 meter dan lebar 12 meter.
Kecepatan maksimum dari kapal ini adalah 13,5 knot. Kapal tersebut bisa mengangkut hingga 51 orang. Puluhan orang itu terdiri dari anak buah kapal, para teknisi dan para ilmuwan untuk melaksanakan kegiatan survei dan pemetaan geologi kelautan.
"Kapal ini memang dibuat untuk kepentingan survei," terang Ateng.
(mso/mso)