Kabupaten Cirebon semakin memperkuat posisinya sebagai salah satu penyumbang terbesar Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Jawa Barat, setelah Kabupaten Indramayu. Data Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kabupaten Cirebon menunjukkan bahwa pekerja migran dari daerah ini didominasi oleh perempuan yang bekerja di sektor domestik di luar negeri.
Agus Susanto, Kepala Bidang Penempatan Kerja Disnaker Cirebon, mengungkapkan lonjakan signifikan dalam jumlah PMI selama dua tahun terakhir. Pada tahun 2022, terdapat 1.931 PMI yang diberangkatkan ke luar negeri, dengan rincian 661 laki-laki dan 1.270 perempuan.
"Negara tujuan terbanyak tahun 2022 adalah Taiwan dengan 936 orang, disusul Hongkong 477 orang dan Singapura 252 orang," ungkap Agus kepada detikJabar, Senin (21/10/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lonjakan Drastis dari Tahun Ke Tahun
Tren pengiriman pekerja migran meningkat tajam pada tahun 2023. Menurut Agus, jumlah PMI melonjak hingga 10.545 orang, dengan 26 negara tujuan. Taiwan tetap menjadi destinasi favorit dengan 4.986 orang, diikuti Hongkong ada 2.568 orang dan Malaysia ada 1.173 orang.
"Peningkatan ini cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya, baik dari jumlah PMI maupun negara tujuannya," ujarnya.
Meski mayoritas PMI bekerja sebagai tenaga domestik, Disnaker Cirebon berupaya mendorong penempatan pekerja di sektor formal. "Kami sedang menganalisa data agar lebih banyak PMI yang bisa bekerja di sektor formal," jelas Agus.
Ia melanjutkan, sesuai data ada sekitar 43,65 persen pekerja migran asal Kabupaten Cirebon sudah bekerja di sektor formal untuk beberapa negara penempatan pada 2023. "Jumlah pastinya ada 4.603 orang pekerja migran di sektor formal. Mereka sudah tercatat dan berangkat ke negara penempatan secara legal dari penyalur resmi," katanya.
Agus menjelaskan, sektor formal yang dimaksud adalah pabrik, perkantoran hingga bidang jasa yang sudah terisi oleh tenaga kerja asal Cirebon pada tahun tersebut. Sedangkan persentase pekerja migran yang bekerja di sektor formal itu cenderung meningkat dengan tersedianya lowongan pekerjaan di beberapa negara khususnya Jepang dan Korea Selatan. "Sudah mengalami pergeseran, presentasenya saat ini sedikit demi sedikit banyak bekerja di sektor formal," ujarnya.
Agus mengatakan mayoritas pekerja migran itu telah mengikuti pelatihan dari segi bahasa maupun keterampilan, sehingga bisa beradaptasi dengan baik selama berada di negara penempatan. "Dari jumlah itu, pekerja migran memang masih belum mendominasi. Karena sektor tenaga domestik masih mendominasi sebanyak 56,35 persen dari jumlah PMI yang ditempatkan," katanya.
Tantangan dan Permasalahan PMI
Disnaker juga mencatat adanya permasalahan terkait PMI, seperti pekerja yang berangkat secara ilegal atau unprosedural. Pada tahun 2022, terdapat 50 kasus pekerja bermasalah, dan tahun 2023 angkanya turun menjadi 47 kasus.
Agus menekankan pentingnya pemutakhiran data PMI yang sudah kembali ke Indonesia. Namun, pihaknya masih menghadapi kendala dalam mengakses data tersebut. "Kami berharap pemerintah pusat bisa menyediakan sistem agar pemerintah daerah dapat mengetahui jumlah PMI yang sudah pulang," tambahnya.
Selain itu, pemerintah juga diwajibkan oleh undang-undang untuk memberikan perlindungan dan pemberdayaan bagi purna PMI. Dengan minimnya akses data yang dimiliki, pihaknya merasa kesulitan untuk memberikan pemberdayaan bagi purna PMI. "Kami telah berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) dan memberikan pelatihan bagi purna PMI agar mereka bisa mendapatkan keterampilan baru," kata Agus.
Dalam pelayanan penempatan, Disnaker Cirebon menggunakan dua aplikasi yakni Siapkerja dari Kemnaker dan Siskoktln dari BP2MI. Upaya ini dilakukan agar proses penempatan dan pemantauan PMI lebih transparan dan terintegrasi.
"Dengan berbagai tantangan yang ada, Disnaker Kabupaten Cirebon terus berupaya meningkatkan perlindungan dan peluang kerja bagi para PMI di sektor formal dan memastikan kepulangan mereka bisa dipantau dengan lebih baik," pungkasnya.
(iqk/iqk)