Kasus perceraian di Kabupaten Cirebon semakin mengkhawatirkan. Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A), Eni Suhaeni, mengungkapkan bahwa dalam sebulan terakhir pihaknya menerima banyak pengaduan kasus perceraian yang diakibatkan pernikahan dini.
"Kasus ini terus kami dalami dan ditemukan angka kasus perceraian masih tinggi di Kabupaten Cirebon," ungkap Eni pada Rabu (25/9/2024).
Ia kembali menjelaskan, terdapat sejumlah faktor dari tingginya kasus perceraian di Kabupaten Cirebon. Diantaranya faktor ekonomi serta Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan mayoritas dari kasus tersebut disebabkan pernikahan dini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dari mayoritas laporan kasus perceraian yang kami dapatkan disebabkan pernikahan dini. Karena usia masih terbilang muda sehingga tidak dapat mengkontrol emosi sampai berimbas ke KDRT ditambah ekonomi dari mereka kebanyakan belum siap," terangnya.
"Kasus pernikahan dini cukup tinggi, dan kami berharap sosialisasi ke masyarakat bisa lebih masif lagi agar masyarakat lebih sadar akan risiko yang dihadapi," tambahnya.
Ia menuturkan, berdasarkan data dari Pengadilan Agama, lebih dari 5.000 kasus perceraian tercatat sepanjang tahun 2023. Angka ini menunjukkan peningkatan yang signifikan dibandingkan tahun sebelumnya dan sebagian besar dari jumlah data tersebut akibat pernikahan dini.
"Banyaknya perceraian yang terjadi bukan hanya menghancurkan hubungan rumah tangga, tetapi juga berdampak langsung pada anak-anak yang sering kali harus berjuang menghadapi konflik orang tua," bebernya.
Ke depan, pemerintah daerah bersama lembaga terkait berencana untuk menggiatkan program sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, khususnya terkait pernikahan dini dan kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini diharapkan dapat menekan angka perceraian dan melindungi anak-anak dari dampak psikologis yang berkelanjutan.
"Maraknya perceraian ini menjadi perhatian serius karena selain merusak hubungan keluarga, generasi muda yang menjadi korban sering kali mengalami trauma yang mendalam," ujarnya.
Dari data yang diperoleh, jumlah pernikahan dini di Kabupaten Cirebon pertengahan tahun 2024 ada sebanyak 106 pernikahan anak di bawah 18 tahun.
Kebanyakan paradigma masyarakat di Kabupaten Cirebon, ia melanjutkan dengan menikahkan anak di bawah umur dinilai dapat meringankan beban ekonomi keluarga.
"Akan tetapi dengan cara berpikir semacam itu malah membahayakan karena di usia yang muda belum banyak mengetahui soal kualitas hidup. Jadi tidak menutup kemungkinan kualitas pendidikan, kesehatan dan ekonomi akan berdampak kedepannya," tuturnya.
Lebih lanjut ia menuturkan, jumlah pernikahan tahun jika dibandingkan dengan tahun lalu lebih sedikit. Pasalnya pada tahun 2023 lalu jumlah pernikahan dini di Kabupaten Cirebon sebanyak 418 anak.
"Jumlah tahun ini kan baru sampai setengah tahun dan itu masih terbilang tinggi, tapi ya mudah-mudahan jumlahnya nggak sebanyak tahun kemarin," jelasnya.
Tidak hanya karena persoalan ekonomi, akan tetapi faktor sosial juga mempengaruhi tingginya jumlah pernikahan dini. Karena tidak sedikit dari jumlah itu disebabkan oleh kasus hamil diluar nikah, sehingga kebanyakan dari orang tua memilih menikahkan anaknya untuk menutupi aib.
"Tingginya kasus pernikahan dini juga banyak disebabkan sama kasus hamil diluar nikah, jadi banyak orang tua memilih menikahkan anaknya untuk menutupi aib," ungkapnya.
Dalam rangka memutuskan jumlah perceraian yang disebabkan pernikahan dini, pihaknya saat ini sudah berkoordinasi dengan Kantor Urusan Agama (KUA) untuk memperketat praktik pernikahan dini.
"Kami juga terus memperkuat program pemberdayaan ekonomi serta sosial mengenai hal buruk dari pernikahan dini. Jadi tidak ada alasan lagi bagi masyarakat untuk melakukan hal itu lagi," pungkasnya.
(yum/yum)