Pada tanggal 2 Oktober 2009, UNESCO menetapkan batik sebagai Intangible Cultural Heritage (ICH) atau Warisan Budaya Takbenda. Pengakuan ini tidak lepas dari keunikan teknik pembuatan, simbolisme, dan budaya yang sangat melekat dengan Indonesia.
Salah satu jenis batik yang tetap eksis hingga kini adalah Batik Ciwaringin asli Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Batik itu dibuat dengan mempertahankan bahan alami sebagai pewarna.
Farhan Jazuli, seorang perajin Batik Ciwaringin menjelaskan, bahwa pewarna alami lebih ramah lingkungan dan tidak menimbulkan limbah berbahaya.
"Kami pikir pewarna yang didapatkan dari bahan alami akan lebih ramah lingkungan," kata dia kepada detikJabar.
Pewarna alami yang digunakan berasal dari pohon mahoni, pohon mangga, kulit jengkol, dan kulit buah rambutan. Pewarnaan ini tidak hanya menjaga keaslian batik tetapi juga memberikan sentuhan khas yang tidak bisa ditiru oleh pewarna kimia.
"Sebenarnya semua tanaman punya warna sendiri, tapi warna yang kami pilih dari pohon mahoni, pohon mangga, kulit jengkol sama kulit rambutan," paparnya.
Sejarah Singkat Batik Ciwaringin
Sejarah Batik Ciwaringin di Indonesia sudah ada sejak akhir abad ke-18. Di era 1980-an, pewarna kimia dari India dan Jepang sempat mendominasi pasar, namun Batik Ciwaringin tetap bertahan dengan pewarna alami.
Tantangan terbesar datang pada tahun 1990-an ketika batik sablon dan printing mulai populer, membuat Batik Ciwaringin hampir punah karena kalah bersaing dalam penjualan.
"Batik Ciwaringin sempat ingin punah, soalnya waktu tahun 90-an kami diserang sama batik printing dan sablon," tegasnya.
Ia melanjutkan, hanya beberapa orang yang masih bertahan menjadi perajin Batik Ciwaringin. Akhirnya pada tahun 2010, Batik Ciwaringin kembali eksis setelah mendapatkan bantuan dari sejumlah perusahaan swasta.
"Di tahun 2010 yang lalu memang ada perusahaan yang menyalurkan CSR-nya buat eksitensi Batik Ciwaringin. Alhamdulillah disaat itu batik Ciwaringin kembali bergairah," jelasnya.
Eksistensi Batik Ciwaringin
Hingga kini, Batik Ciwaringin tetap menggunakan pewarna alami dan mempertahankan proses pembuatan manual. Dalam pembuatannya Batik Ciwaringin memerlukan waktu beberapa minggu untuk menghasilkan satu kain sepanjang 2,5 meter.
Motif-motif khas seperti Rajeg Wesi, Yusupan, Sedapur, Gribigan, dan Pasungan menjadi daya tarik tersendiri bagi pecinta batik.
Harga Batik Ciwaringin berkisar antara Rp 500 ribu hingga Rp 1,5 juta untuk bahan katun. Meski demikian, pasar dunia mulai tertarik dengan motif dan cara pewarnaan Batik Ciwaringin, memberikan harapan baru bagi para perajin.
Dukungan pemerintah sangat diperlukan untuk terus mendampingi dan memberikan permodalan bagi para perajin batik. Dengan demikian, batik Ciwaringin tidak hanya menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang budaya Indonesia tetapi juga sebagai warisan yang terus hidup dan berkembang di tengah modernisasi.
Batik Ciwaringin adalah contoh nyata bagaimana warisan budaya bisa tetap bertahan dan eksis dengan dukungan yang tepat serta ketekunan para perajinnya. Pemerintah dan masyarakat perlu bersinergi agar kekayaan budaya ini terus lestari dan dikenal di seluruh penjuru dunia.
(mso/mso)