Pada awal abad ke-20 Cirebon menjadi kota yang ramai dengan geliat ekonomi yang cukup tinggi. Hadirnya pelabuhan Cirebon yang menjadi pusat aktivitas perdagangan membuat banyak kapal yang singgah di Cirebon.
Tidak hanya singgah, beberapa awak kapal bahkan tinggal dan menetap di Cirebon. Ini membuat peningkatan jumlah penduduk di Cirebon
Tetapi jumlah penduduk yang meningkat tidak dibarengi dengan tata kota yang baik. Sehingga banyak masalah di Cirebon salah satunya kesehatan. Abad ke-20 Cirebon mengalami beberapa kali serangan wabah salah satunya cacar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Koran Hindia Belanda De Locomotief: Semarangsch handels en advertentie-blad edisi 8 Oktober 1897 menyebutkan tentang penyakit cacar yang mulai merajalela di Palimanan Cirebon.
Pada tahun 1902 surat kabar Algemeen Handelsblad edisi 10 November 1902 menyebutkan penyakit cacar di Cirebon kebanyakan menyerang orang-orang pribumi asli. Dalam koran itu juga menyebutkan tentang penyebab terjadi wabah cacar seperti kekeringan dan tidak adanya akses kesehatan yang baik.
Beberapa tahun setelahnya yaitu pada 15 Juni 1914 Surat kabar Hindia Belanda Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie juga memberitakan tentang penyebaran penyakit cacar di Cirebon yang semakin mengkhawatirkan. Daerah yang dekat dengan pantai utara seperti Tangkil dan Panjunan menjadi titik penyebaran cacar. Untuk mencegahnya disana banyak dipasang papan reklame yang terbuat dari kertas tentang bahaya dari penyakit menular.
"Het aantal pokkenlijders to Cheribon meemt schrikbarend toe, meldt de Noordkust. De dessa's Tangkil en Pandjoenan zijn brandpunten en ook overal elders ziet men de beruchte papieren aanplakborden met besmettelijke ziekte" hangen.," tulis surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie edisi 15 Juni 1914.
Tidak hanya di wilayah Cirebon. Cacar juga menyebar di wilayah sekitar Cirebon seperti Kuningan dan Majalengka. Surat kabar Bataviaasch nieuwsblad edisi 15 November 1930 menyebutkan wabah cacar sudah menyebar di wilayah Kuningan, Talaga dan Cikijing Majalengka setidaknya ada 9 orang yang meninggal akibat cacar. Diperkirakan ada sekitar 1500 orang lebih yang terpapar penyakit cacar.
Menurut Dosen Sejarah IAIN Syekh Nurjati Cirebon Tendi, wabah yang menyebar di Cirebon tidak terlepas dari adanya proses interaksi antara orang pribumi dan pendatang khususnya orang Eropa. Pada saat itu orang pribumi belum memiliki kekebalan tubuh yang sama dengan orang Eropa.
"Kebanyakan orang Eropa yang datang kesini kan pelaut yang hidupnya berbulan-bulan di lautan, yang seringnya tidak menjaga kesehatan," kata Tendi beberapa waktu lalu.
Hal ini ditambah kondisi Cirebon yang belum memiliki sistem tata letak kota yang baik. Banyak tumpukan sampah dan limbah pabrik yang berserakan di Cirebon. Sehingga membuat Cirebon menjadi kota yang kumuh dan cenderung memiliki sistem sanitasi yang buruk.
Penduduk Cirebon pada masa itu belum memiliki kesadaran tentang pentingnya menjaga kesehatan. Diperparah dengan upaya pembangunan pemerintah Belanda yang masif namun tidak memperhatikan aspek lingkungan. Ada banyak lubang galian dan reruntuhan limbah bangunan yang dibiarkan begitu saja.
Pemerintah kolonial Belanda juga menimbun banyak sungai yang ada di Cirebon. Ketika musim hujan datang sungai tersebut meluap dan menimbulkan banyak genangan air di pemukiman warga.
"Pada masa itu Cirebon sampai dijuluki kota yang tidak layak huni," tutur Tendi.
Hal ini diperkuat dengan laporan dokter Belanda dr. A.L. Bergecker yang dimuat dalam surat kabar menyebutkan Cirebon sudah menjadi kota yang tidak layak huni sejak awal abad ke 20.
Selain orang pribumi banyak orang Eropa juga yang terkena wabah tapi tidak sebanyak orang pribumi. Untuk mengatasinya Pemerintah kolonial Belanda membuat layanan kesehatan masyarakat bernama Burgelijk Geneeskundige Dienst (BGD).
Layanan kesehatan ini berfokus untuk mengatasi persoalan wabah di Cirebon. Namun seiring berjalannya waktu lembaga tersebut digunakan untuk mengobati kaum marginal seperti pelacur, orang sakit jiwa, narapidana dan pecandu narkoba. Oleh pemerintah kolonial Belanda lembaga tersebut juga tidak mendapatkan perhatian khusus.
Sulitnya akses kesehatan membuat banyak orang pribumi yang mencari kesembuhan lewat pengobatan tradisional seperti mendatangi kiai-kiai pesantren. Pada saat wabah cacar banyak orang pribumi dateng ke pondok pesantren Buntet. Di Buntet orang pribumi dituntut untuk menjaga kebersihan dan meminum obat-obatan tradisional serta mengamalkan selawat tolak bala.
Banyaknya orang pribumi yang datang ke kiai pondok pesantren, membuat spekulasi dari pemerintah kolonial Belanda yang menuduh bahwa cacar disebabkan oleh kolam ikan atau empang yang ada di pondok pesantren. Spekulasi ini dimunculkan karena kekhawatiran pemerintah kolonial akan pengaruh kiai pesantren yang semakin kuat di kalangan penduduk pribumi.
Dilaporkan selama abad ke 20 ada sekitar 1.503 orang yang terkena penyakit cacar sebanyak 207 orang yang dapat sembuh dan 241 orang yang masih dalam perawatan. Cacar sendiri disebabkan oleh virus variola major yang menimbulkan banyak bintik dan ruam pada kulit.
Tendi mengatakan wabah di Cirebon mulai dapat diatasi ketika pemerintah kolonial Belanda mulai memperbaharui sistem tata kota dengan membangun kanal, sistem sanitasi, irigasi, pembuangan limbah, jalan, rumah sakit dan membersihkan sungai yang ada di Cirebon.
Selain itu juga pemerintah kolonial Belanda gencar mengadakan vaksinasi untuk warga pribumi agar wabah tidak semakin menyebar. Ini terlihat dalam arsip foto lawas Belanda tahun 1921 M yang berjudul Devolking van een dorp het district Cheribon wordt ingeent tijdens een frambosia-epidemie.
(dir/dir)