Kawasan Sundaweang, Kecamatan Parungkuda, Kabupaten Sukabumi pernah menjelma sebagai landasan megah pacuan kuda di wilayah Priangan. Sejarah pacuan kuda pernah ditorehkan dari Sundawenang yang kala itu dikenal dengan nama Sunta Winang.
Semuanya berawal di tahun 1863, sosok bangsawan Belanda, Rudolf Edward Kerkhoven adalah sosok sentral di balik kisah tersebut. "Pengelolaannya dipercayakan kepada sosok yang berpengaruh pada zamannya yaitu Rudolf Edward (R.E) Kerkhoven. Sunda Winang berdiri sebagai bukti awal kecintaan masyarakat Priangan terhadap balapan kuda, mendahului keberadaan Pacuan Kuda Tegalega Bandung," kata Rangga Suria Danuningrat, pegiat sejarah dari Sukabumi History kepada detikJabar, Kamis (8/1/2024).
Rangga melansir koran Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode yang terbit pada tanggal 17 Juni 1953. Tertulis pendirian Preanger Wedloop Societeit (PWS) atau Perkumpulan Balapan Priangan terjadi di afdeling (perkebunan) Sukabumi yang saat itu masuk wilayah Kabupaten Cianjur.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"PWS, berdiri atas inisiatif para pecinta kuda balap di Priangan, mencatat sejarahnya pada tahun 1863. Nama-nama seperti Tuan Mundt, Van Motman, Boreel, dan lainnya, yang sebagian besar merupakan pemilik perkebunan, turut membentuk landasan bagi pacuan kuda di Priangan," tutur Rangga.
"Kala itu para pendiri PWS membawa kuda-kuda tangguh, baik yang berasal dari lokal maupun impor dari Australia. Sunta Winang menjadi panggung unggulan bagi kuda-kuda berkualitas dengan ketinggian punggung berkisar antara 119 cm hingga 142 cm," ujar Rangga.
"Sebuah kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Priangan, Sunta Winang menjadi saksi pendahulu Pacuan Kuda Tegalega Bandung. Peristiwa besar terjadi pada 26 September 1863, ketika pembukaan Paarden Races dihadiri oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, M L.A.J.VV Baron Sloet van de Beele," tambah Rangga.
![]() |
Kala itu bupati-bupati terkemuka di Priangan, seperti Bupati Sumedang RAA Soeria Koesoemah Adinata (Pangeran Sugih atau kakek dari Bupati Sukabumi ke-2 RAA Soeria Danoeningrat), RAA Soeria Nata Koesoemah dan Bupati Cianjur RAA Soeria Nataatmadja, turut memeriahkan acara ini bersama pengelola Pacuan Kuda Sunda Wenang, RE Kerkhoven dan Adriaan Walvaren Holle.
"Desa-desa di Cianjur dan Afdeling Sukabumi ikut serta dalam kegiatan ini dengan membawa kuda-kuda terbaik mereka. Setiap desa menghadirkan satu kuda pilihan untuk dijadikan kuda acuan, di mana yang terbaik akan dibeli oleh para bupati Priangan sebagai koleksi kuda pacu mewakili kabupaten masing-masing. Selain sebagai ajang balapan, Pacuan Kuda Sunta Winang juga memberikan dorongan pada pembiakan kuda di wilayah tersebut. Banyak kepala desa yang memiliki kuda pacuan sendiri, dan peternakan kuda mulai bermunculan," kisah Rangga.
Olahraga berkuda di Priangan pada masa itu tidak hanya sekadar hiburan, namun juga menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat. Kuda-kuda pacu milik para bupati dan pejabat administrasi lainnya memainkan peran penting dalam sejarah olahraga berkuda dan peternakan kuda di Nusantara.
"Nama-nama kuda legendaris seperti Grandezza, Falada, Don Gaster, dan Wayang I dari Garut mulai mencuat dalam buku sejarah olahraga berkuda Priangan. Diawalai pada awal 1853, minat terhadap kuda semakin berkembang, mendorong beberapa pegawai Eropa dan para bupati Priangan untuk mengajukan pembentukan klub pacuan kuda," ungkap Rangga.
Pengajuan pembentukan klub pacuan kuda itu diajukan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Mr A.J Duymaer van Twist. Dengan persetujuan dari pihak berwenang saat itu, terbentuklah Preanger Wedloop Societeit (PWS) di afdeling Sukabumi, Kabupaten Cianjur pada medio akhir abad ke-19.
Organisasi ini memiliki susunan pengurus yang terdiri dari tokoh-tokoh penting pada masanya, seperti C.P.C. Steinmets, B.B. Crone, dan Bupati Cianjur pada tahun 1853 RAA Koesoema Ningrat.
"PWS menggelar pacuan kuda pertamanya di Bandung pasca pendiriannya di Cianjur yaitu pada 13-14 Mei 1853. Berbagai perlombaan, termasuk De Maiden Plate, De Presidents Beker, dan De Tjikadjang Beker, menjadi daya tarik utama pada acara tersebut," kata Rangga.
PWS berhasil menciptakan tradisi balapan kuda yang terus berkembang hingga kini. Hadiah yang disediakan oleh PWS terus meningkat dari tahun ke tahun, mencapai f 400 pada 1865. Meski sempat mengalami pasang surut pada tahun 1870, PWS bangkit kembali pada 1880 dengan penyelenggaraan pameran produk peternakan dan pertanian.
"Pemerintah kolonial memberikan dukungan finansial berupa subsidi, mencapai f 5000 pada tahun 1899. Polemik yang muncul antara A.W Holle dari Parakan Salak dengan v.G pada tahun 1869 mencerminkan dinamika organisasi ini. Meski demikian, PWS tetap eksis dan terus berjuang untuk menjaga keberlanjutan balapan kuda di Priangan," tutur Rangga.
Perang pena di koran Bataviaasch Handelsblad pada tahun 1869 memperlihatkan betapa pentingnya diskusi dan kritik terhadap perkembangan PWS. Perubahan dalam peraturan PWS terjadi seiring berjalannya waktu. Ordonansi pada 2 Agustus 1889 menetapkan PWS sebagai badan hukum, sementara pada 14 Mei 1896 terjadi amandemen pada statuta PWS.
"Meski mengalami beberapa kali perubahan, PWS tetap menjadi organisasi olahraga tertua di Bandung, dengan cikal bakalnya di Cianjur. Pada awal abad ke-20, PWS memasuki era baru. Keberhasilan dan tradisi yang diwariskan sejak abad ke-19 terus hidup hingga saat ini, menjadikan Pacuan Kuda Sunta Winang sebagai penanda sejarah gemilang olahraga berkuda di wilayah Priangan," pungkas Rangga.
(sya/sud)