Elang Jawa atau yang memilki nama latin Nisaetus bartelsi merupakan spesies burung endemik Pulau Jawa yang keberadaannya mulai langka. Satwa ini pertama kali ditemukan keluarga Bartels yang berkebangsaan Jerman.
Kisah keluarga Bartels diceritakan dalam laman resmi Gunung Gede Pangrango. Sejarah mencatat, selain menemukan Elang Jawa, keluarga Bartels juga penemu 21 spesies, baik berupa burung, kelelawar, dan tikus. Tujuh di antaranya masih dalam Red List IUCN (daftar merah spesies terancam).
Lalu bagaimana kisah keluarga Bartels yang menemukan banyak spesies hewan termasuk Elang Jawa di Sukabumi?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seluruh kisah tersebut tidak terlepas dari lokasi museum sekaligus rumah keluarga Bartels di Pasir Datar, Sukabumi yang saat ini menjadi lokasi Pusat Konservasi Elang Jawa Cimungkad, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi. Tempat itu masih berada di bawah naungan Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BTNGGP).
Max Eduard Gottlieb Bartels, pria ini lahir pada 24 Januari 1871 dan wafat pada 7 April 1936. Dia merupakan seorang Ornitholog yang dilahirkan di Kota Bielefeld, Jerman, dari seorang ayah yang bekerja sebagai arsitek.
Ia merupakan anggota Deutsche Ornithologische Gesellschaft (Jerman Ornitolog Society) yang berpusat di Boon sejak tahun 1903. Pada tahun 1895, MEG Bartels yang saat itu berusia 24 tahun pindah ke Pulau Jawa untuk menghindari Wajib Militer di Jerman. Dia memiliki ketertarikan dengan kehidupan alam liar, terutama burung.
MEG Bartels bekerja di Perkebunan Teh Pangrango, yang saat ini menjadi Resort Pasir Datar, Sukabumi. Karena keuletannya dalam bekerja, pada tahun 1898, MEG Bartels pun diangkat menjadi Kepala Perkebunan tersebut.
Tepat pada 19 Agustus 1901, MEG Bartels menikah dengan Angeline Cardine Henriette Maurenbrecher, seorang pelukis asal Belanda. Karya sang istri bahkan dipajang di National Museum of Natural History Leiden.
Dari pernikahannya itu, mereka dikaruniai tiga orang anak yaitu Dr. Max Bartels Jr (1902-1943), Ernst Bartels (1904-1976), dan Hans Bartels (1906-1997).
MEG Bartels memiliki kegemaran mengoleksi specimen satwa terutama berbagai jenis burung dan telurnya, harimau jawa, macan tutul, tikus, tulang banteng dan lain-lain. Koleksi itu tercatat sebagai koleksi Keluarga Bartels yang kini berada di National Museum of Natural History (NMNH) Leiden.
Berkat kegemarannya tersebut, beberapa nama burung, tikus dan tupai berhasil diidentifikasi berdasarkan koleksinya. Oleh karena itu nama Bartels, Max dan Angeline digunakan dalam nama latin satwa tersebut.
"Untuk menampung koleksinya tersebut MEG Bartels membangun sebuah museum koleksi di Pasir Datar, Sukabumi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango," tulis laman Gunung Gede Pangrango seperti dikutip detikJabar.
Tingkat pendidikan MEG Bartels tidak diketahui hingga saat ini. Namun dia menerbitkan jurnal-jurnal ilmiah di Jerman dan Belanda.
Tulisan ilmiahnya dinilai sangat berpengaruh bagi perkembangan burung di Pulau Jawa, misalnya seperti "Zur Ornis Javas" (1901) yang berisi katalog 239 spesies dari Jawa Barat. Dari katalog spesies tersebut, Crithaga estherae Finsch, Caprimulgus bartelsi Finsch, dan Syrnium bartelsi Finsch dideskripsikan sebagai spesies baru oleh Finsch.
Kemudian ada juga jurnal berjudul "Zur Lebens- und Nistweise Javanisches Vogel" (1903, 10 spesies dari Jawa Barat) dan "Systematische Γbersicht meiner Java-Vogel" (1906). Setidaknya dalam rentang 22 tahun tepatnya sejak tahun 1901-1923, MEG Bertels telah menulis 19 jurnal ilmiah.
MEG Bartels meninggal dunia pada 7 April 1936 dan dimakamkan di Pasir Datar sesuai surat wasiat yang disampaikan kepada anak sulungnya, Dr Max Bartels. Bartles dimakamkan berdekatan dengan museum dan pegunungan.
Kiprah Bartels Junior yang Mengikuti Jejak Ayahnya
Dr. Max Bartels dilahirkan di Pasir Datar, Sukabumi sebagai anak pertama dari MEG Bartels. Dia dikenal telah menyukai berburu sejak kecil. Bartels junior mendapatkan pendidikan di Eropa dan pada Mei 1932 mendapatkan gelar Dr/PhD dari Bern Switzerland dalam bidang Zoology.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Dr. Max Bartels bergabung dengan Earns Bartels adiknya yang berkerja di perkebunan teh Tjiboeni di Gunung Patuha Bandung Jawa Barat. Pada tahun 1932-1937, Dr. Max Bartels banyak berkolaborasi dengan HJV Sody dan melakukan ekpedisi ke Gunung Ciremai, Gunung Lawu, dan Pananjung Pangandaran juga Nusakambangan. Pada periode ini Dr. Max Bartels menghasilkan seri Mamalia Pegunungan Jawa.
"Dari hasil kolaborasi dengan Sody menghasilkan dua genus Rodentia yakni Maxsomys dan Kadarsanomys. Selain itu Dr. Max Bartels juga memberi nama species tikus yang hanya hidup di Gunung Gede Pangrango dengan nama Rattus canus sodyi Bartels 1937 sebagai penghormatan kepada Sody setelah melakukan pendiskripsian jenis tikus ini dari koleksi milik Max Bartels Sr," lanjutnya.
![]() |
Selain itu, Dr. Max Bartels dan Sody juga bekerja sama dengan Dr. Sampurno Kadarsan, dan menghasilkan satu genus tikus arboreal yang hidup di bambu Gunung Gede Pangrango dengan nama Genus Kadarsanomys dan jenisnya adalah Kadarsanomys sody. Penelitian ini berdasarkan koleksi tikus yang dimiliki oleh Keluarga Bartels yang dikumpulkan dari Gunung Gede Pangrango.
Kolaborasi ini merupakan kolaborasi unik dari tiga orang ilmuwan yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda yakni Dr. Max Bartels, seorang keturunan Belanda-Jerman yang dibesarkan di Jawa. Kemudian, Sody Seorang Belanda yang dibesarkan di Belanda dan Dr. Sampurno Kadarsan seorang Java dengan pendidikan Eropa.
Data mengenai Kadarsanomys sody (spesies tikus) sangatlah minim. Tikus ini disinyalir hanya hidup di Gunung Gede Pangrango, oleh karena itu jenis ini oleh IUCN dimasukan dalam Red List of Threatened Species.
Penelitian Bartels Berhenti Saat Perang Dunia II
Kembali ke Dr. Max Bartels. Sepak terjang Bartels junior terhenti ketika Perang Dunia ke II terjadi dan melanda Indonesia. Pada tahun 1941, rumahnya yang berlokasi di Ciseureuh Sukabumi didatangi oleh tentara Jepang.
Sebelum dikirim menuju Burma untuk membangun jalan kereta api, Dr. Max Bartels ditampung pada Prisoner-of-war camp (POW) Cimahi dan bertemu dengan Prof. Dr. Rudolf (Rudi) Willem Becking.
Rudi menceritakan bahwa sebelum dikirim ke Burma, Dr. Max Bartels mengalami depresi dan mengharapkan agar tidak dikirim menuju Burma, namun sayang pada pengiriman tawanan berikutnya Dr. Max Bartels dikirim ke Burma.
Atas anjuran Dr. A Hoogerwerf, pasukan Jepang mengambil secara paksa seluruh koleksi keluarga Bartels untuk di pindahkan ke Museum Zoologi Bogor (MZB) dengan alasan bahwa koleksi itu sangat dibutuhkan untuk proses pembuatan tiga buku tentang telur burung-burung di Kebun Raya dan Burung-Burung Cibodas.
Ketiga buku tersebut adalah De Avifauna van de Plantentuin te Buitenzorg (Java) 1949, De Avicfauna van Tjibodas en omgeving (1949) dan Een bijdrage tot de oologie van het eiland Java (1949).
Pengambilan koleksi ini dilakukan bukan hanya satu kali namun berkali kali oleh Dr. A Hoogerwerf. Termasuk pada 1946 ketika terjadi agressi militer Belanda ke II. Selain Dr. A. Hoogerwerf, Sody juga sempat menyelamatkan koleksi Bartels sepanjang tahun 1946 baik secara sendiri maupun ditemani oleh staf MZB.
Hampir seluruh koleksi keluarga Bartels saat ini telah berada NMNH Leiden. Berdasarkan keterangan Rudi, khusus untuk koleksi telur dikirim ketika perang kemerdekaan pada tahun 1946, sedangkan secara keseluruhan dikirim pada tahun 1948 dan kemudian dicatat di NMNH Leiden secara resmi tahun 1954.
Koleksi keluarga Bertels tersimpan dalam beberapa ruangan khusus di 5 lantai di gedung NMNH Leiden sedangkan koleksi telur berada di gedung yang berbeda.
![]() |
Ironinya, koleksi telur milik keluarga Bartels banyak yang mengaku-ngaku, seperti yang dilakukan Dr. A Hoogerwerf dan J.H. Becking. Berdasarkan pengakuan dari Becking bersaudara bahwa Dr. A Hoogerwerf telah membuat buku tentang telur yang berdasarkan koleksi Bartels dengan ilustrasi berwarna tanpa menyebut nama Dr. Max Bartels.
Perselisihan ini juga diakui oleh Dr. A Hoogerwerf dalam suratnya kepada Ieuce, anak dari Dr. Max Bartels bahwa ia telah dituduh oleh J.H. Becking pada bulan Februari 1969 mencuri hasil karya Dr. Max Bartels.
Di dalam kesaksiannya, Rudi menyatakan bahwa Dr. Max Bartels menyerahkan seluruh hidupnya kepada Allah SWT atas apapun yang terjadi. Dr. Max Bartels meninggal di Burma pada 6 Oktober 1942 dan dimakamkan di tempat pemakaman korban perang Chungkai, Burma.
Anak Bartels, Iece Maryati pada saat itu masih berusia 5 tahun. Dia baru mengetahui bahwa ayahnya meninggal di Burma 50 tahun kemudian setelah salah seorang staff Palang Merah Internasional memberikan kalung prajurit Dr. Max Bartels. Pada tahun 1994, Ieuce baru dapat mengunjungi makam Dr. Max Bartels di Burma.
Kondisi rumah dan museum keluarga Bartels yang berada di lingkungan Konservasi Elang Jawa, Pasir Datar, Sukabumi jauh dari kata layak. Saat detikJabar mengungjungi beberapa waktu lalu, bangunan museum itu telah nyaris roboh dengan kondisi lantai kayu berlubang, hanya tersisa pondasi, teras rumah serta batu nisan MEG Bartels.
Kawasan Konservasi Elang Jawa ini rimbun dengan pohon damar dan semak belukar. Akses menuju lokasi tersebut cukup jauh, sekitar 4 km sebelum mencapai lokasi, kondisi jalan berbatu dengan lebar 4 meter dan cukup sulit dilalui oleh kendaraan roda empat.
Simak Video "Video: Polisi Tangkap 6 Tersangka Baru Kasus Penjualan Bayi ke Singapura"
[Gambas:Video 20detik]
(orb/orb)