Menyusuri Jejak Reruntuhan Keraton Awal Cirebon

Menyusuri Jejak Reruntuhan Keraton Awal Cirebon

Fahmi Labibinajib - detikJabar
Senin, 18 Des 2023 12:00 WIB
Reruntuhan keraton awal Cirebon.
Reruntuhan keraton awal Cirebon. (Foto: Fahmi Labibinajib/detikJabar)
Cirebon - Bangunan Keraton Cirebon dulunya berbeda dengan kondisi sekarang. Pada saat Kerajaan Cirebon berdiri, bentuk bangunan keraton cukup sederhana dan tidak dipenuhi ornamen atau tembok tinggi serta kekar. Hal tersebut terlihat jika detikers memasuki kawasan Petilasan Dalem Agung Pakungwati yang ada di Keraton Kasepuhan. Di sana terlihat bangunan batu bata cokelat berusia ratusan tahun namun tampak masih berdiri.

Selain itu pada bagian dalam ada dua petilasan tepat di depan sebuah reruntuhan batu bata yang tersusun rapi. Dulunya reruntuhan tersebut merupakan bagian dari keraton awal. "Bangunan abad ke-15 sebagai keraton memang seperti itu, cukup sederhana," kata Iman Sugiman Kepala Bagian Informasi dan Pariwisata Keraton Kasepuhan, kepada detikJabar belum lama ini.

Di samping pintu masuk tertulis Sumur Kejayaan, Petilasan Pangeran Cakrabuana, dan Petilasan Sunan Gunung Jati. Menurut Iman, petilasan berarti bekas atau tempat singgah yang dulunya pernah digunakan oleh Pangeran Cakrabuana dan Sunan Gunung Jati tinggal.

Reruntuhan keraton awal Cirebon.Reruntuhan keraton awal Cirebon. Foto: Fahmi Labibinajib/detikJabar

Diceritakan Iman, nama Keraton Pakungwati diambil dari anak perempuan Pangeran Cakrabuana bernama Pakungwati yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. "Dinamakan Keraton Pakungwati yang diambil dari nama putrinya yang cantik yang bernama Ratu Ayu Pakungwati, kata Iman.

Setelah keraton dibangun oleh Pangeran Cakrabuana, bangunan tersebut diberikan kepada keponakan sekaligus menantunya yaitu Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Oleh Sunan Gunung Jati Keraton Pakungwati dijadikan pusat pemerintahan dan syiar agama Islam.

Pada masa kepemimpinan Sunan Gunung Jati, Kerajaan Cirebon berkembang dengan sangat pesat hingga mencapai wilayah Banten dan Jakarta serta sebagai pusat penyebaran agama Islam di tanah Pasundan.

Adanya dua pendopo di Dalem Agung Pakungwati pada mulanya digunakan sebagai tempat duduk Sunan Gunung jati dan Pangeran Cakrabuana. "Dua tempat tersebut digunakan oleh Sunan Gunung Jati dan Pangeran Cakrabuana untuk bermeditasi," tutur Iman.

Iman juga mengatakan keunikan lain dari batu bata yang ada di Petilasan Dalem Agung Sunan Gunung Jati adalah adanya sebuah sandi atau tanda di setiap bata nya. "Pada waktu bata-bata itu dipugar sekitar tahun 90an, di setiap batu bata itu ada semacam stempel seperti macan, udang, buntelan mayat dan tapak macan," kata Iman.

Selain itu juga, konon bata-bata tersebut disusun tanpa menggunakan perekat atau semen. "Pada masa itu kan belum ada semen atau perekat," kata Iman.

Iman menjelaskan pada bangunan keraton dan tempat meditasi Sunan Gunung Jati dan Pangeran Cakrabuana. Di dalam kawasan Dalem Agung juga ada reruntuhan bangunan seperti karang yang ada di Goa Sunyaragi. Di bagian sebelum petilasan juga ada beberapa bangunan seperti Paseban Dalem Agung Pakungwati. Konon dulunya digunakan sebagai tempat musyawarah dan Kolam Pasucian. Ada juga Sumur Agung, Sumur Tujuh, serta Sumur Soka yang beracun.

Reruntuhan keraton awal Cirebon.Reruntuhan keraton awal Cirebon. Foto: Fahmi Labibinajib/detikJabar

Menurut Iman runtuhnya Keraton Pakungwati karena ditinggalkan oleh raja generasi ke-5 yang bernama Penambahan Girilaya. Dia menikah dengan putri dari Kerajaan Mataram dan tinggal di sana hingga wafat. "Ibaratnya ada bangunan tidak diurus lalu rusak sehingga terbengkalai," pungkas Iman.

Imam menjelaskan keraton baru dibangun lagi pada masa kolonial yaitu ketika putra dari Panembahan Girilaya yakni Pangeran Martawijaya kembali ke Cirebon. Nantinya Martawijaya menjadi Sultan Keraton Kasepuhan dan Pangeran Kartawijaya yang berkuasa sebagai Sultan Kanoman. (iqk/iqk)



Hide Ads