Mengenal Seni Tutunggulan Ngangkring Khas Cariu Ciamis

Mengenal Seni Tutunggulan Ngangkring Khas Cariu Ciamis

Dadang Hermansyah - detikJabar
Rabu, 31 Jul 2024 07:30 WIB
Seni Tutunggulan Ngangkring yang ditampilkan di Tradisi Hajar Bumi Cariu Sukadana Ciamis.
Seni Tutunggulan Ngangkring yang ditampilkan di Tradisi Hajar Bumi Cariu Sukadana Ciamis. (Foto: Dadang Hermansyah/detikJabar)
Ciamis -

Tutunggulan Ngangkring merupakan salah satu seni buhun atau tua yang masih bertahan dan bisa ditemui serta dinikmati hingga sekarang di Ciamis. Seni Tutunggulan Ngangkring ini berasal dari Cariu, Desa Sukadana, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Ciamis.

Seperti pada Tradisi Hajat Bumi Cariu beberapa waktu lalu, sejumlah emak-emak yang sudah lansia memainkan Seni Tutunggulan Ngangkring. Seni ini menjadi daya tarik pada tradisi tersebut karena kawih atau nyanyiannya memiliki keunikan tersendiri yang diiringi dengan suara tabuhan lisung atau gondang.

Seni Tutunggulan Ngangkringan sudah ada sejak dulu dan pemainnya diwariskan secara turun temurun. Namun kini generasinya tinggal ibu-ibu yang berusia 40 tahunan dan lansia yang sudah berusia 70 tahunan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ahmad Rizki Fauzi, Pegiat Sejarah dan Budaya dari Komunitas Cakra Mangsa yang bergerak di Bidang Pengembangan Budaya Sukadana menjelaskan seni tersebut.

Menurutnya, Tutunggulan merupakan suara yang dihabiskan dari menabuh lisung menggunakan halu. Tutunggulan menjadi sarana untuk membesarkan kepada masyarakat bahwa akan ada kegiatan atau pesta, khitanan, pernikahan atau acara besar lainnya seperti tradisi.

ADVERTISEMENT

Masyarakat yang mendengar pasti akan bertanya-tanya siapa yang akan menggelar acara kariaan, waktu dan lokasinya. Nantinya, masyarakat akan turut membantu dan mendukung kepada kegiatan tersebut.

"Jadi dulu setiap hajat baik sunatan, gusaran atau nikahan. Seminggu sebelumnya Tutunggulan. Sebagai sarana untuk undangan, 3-4 dusun suaranya bisa terdengar. Tujuannya Ngulem atau ngundang, kalau sekarang biasa disebut woro-woro," kata Fauzi, Selasa (30/7/2024).

Sedangkan Ngangkring, menurut Fauzi, pada zaman dulu belum ada penggilingan padi. Supaya menjadi beras, maka harus ditumbuk di dalam lisung. Supaya tidak merasa capek, maka dibarengi dengan bernyanyi atau kakawihan.

Malah ketika akan ada hajat, kegiatan menumbuk padi itu diikuti oleh banyak orang. Sehingga menumbuk padi tidak akan merasa capek karena sambil bernyanyi dan bercanda karena akan menggelar hajatan.

"Ngangkring itu menabuh lisung sambil diiringi kakawihan atau nyanyian dengan liriknya yang khas dalam bahasa Sunda. Kesenian ini sudah turun-temurun, awalnya memang kebiasaan masyarakat kemudian kini konteksnya diinovasikan jadi seni," jelasnya.

Ada pun lirik dalam kakawihan Ngangkring memiliki makna tersendiri. Mulai dari romantisme, pemuda yang sedang kasmaran, ada juga pujian untuk sang pencipta, amanat kehidupan dan amanat untuk menjaga alam dengan total 25 kawih.

"Pemainnya biasanya ada 11 orang. Pelakunya yang paling tua usianya sudah 78 tahun, beliau juga meneruskan orang tuanya dulu. Seni Tutunggulan Ngangkring ini sekarang dilaksanakan setiap Tradisi Hajat Bumi Cariu. Ke depan akan ditampilkan pada acara besar," ucap Fauzi.

Menurut Fauzi, konon Seni Tutunggulan Ngangkring ini digunakan oleh Kiai Nur Salim pada abad 17 sebagai sarana untuk menyebarkan Islam di wilayah Cariu. Hal itu dilihat dari lirik kawih Ngangkring yang memiliki unsur Hindu tapi juga sebagian bernafaskan Islam.

"Kemungkinan kawih itu dari sebelum pra Islam kemudian diakulturasi ke Islam sampai sekarang. Kawih ngangkring berperan penting dalam penyebaran agama Islam. Pada masa Kiai Nur Salim, Cariu mulai diislamkan," pungkasnya.

(iqk/iqk)


Hide Ads