Prabu Tajimalela dikenal sebagai pendiri Kerajaan Sumedang Larang, sebuah kerajaan vassal Kerajaan Pajajaran yang di kemudian hari meneruskan kerajaan itu, setelah Kerajaan Pajajaran hancur diserang Banten.
Ungkapan "Insun Medal, Insun Madangan" yang menjadi makna dari kata "Sumedang", dengan arti "Saya Lahir dan Saya Menerangi" dipercaya sebagai ungkapan Prabu Tajimalela.
Bagaimana sejarah Prabu Tajimalela sehingga bisa mendirikan Kerajaan Sumedang Larang? detikJabar merangkum kisah ini dari makalah Mumuh Muhsin dari Universitas Padjadjaran (Unpad) tahun 2008, berjudul "Kerajaan Sumedang Larang".
Sebelum Bernama Tajimalela
Jika diuraikan secara semantis, ada dua kata yang membentuk nama Tajimalela. Yaitu, "Taji" dan "Malela". Keduanya adalah bahasa Sunda. Menurut Kamus Basa Sunda Danadibrata, Taji merupakan besi tajam yang serupa kuku, biasanya berbentuk selongsong tajam. Kemudian Malela, berarti baja.
Nama itu digunakan oleh seorang sakti bernama Batara Tuntang Buana, seorang yang menguasai ilmu Kasumedangan. Ketika dirasa ilmunya sempurna, dia mengganti nama menjadi Tajimalela setelah mendirikan Kerajaan Sumedang Larang.
"Setelah selesai mempelajari ilmu kasumedangan, Batara Tuntang Buana turun gunung dan kemudian mendirikan sebuah kerajaan yang bernama Sumedanglarang sekitar tahun 900-an. Setelah mendirikan sebuah kerajaan, Batara Tuntang Buana mengganti namanya menjadi Prabu Tajimalela dan berkedudukan di Leuwihideung Darmaraja," tulis Mumuh Muhsin.
Punya Ilmu Kasumedang yang Bisa Membelah Gunung
Batara Tuntang Buana orang sakti. Historiografi tradisional yang dihimpun Mumuh Muhsin menyebutkan bahwa dalam meraih kesempurnaan Ilmu Kasumedangan, Batara Tuntang Buana melintasi gunung-gunung di sekitar Sumedang. Ini dilakukan untuk mencari tempat yang sepi demi kesempurnaan ilmunya.
"Dalam pencariannya itu, ia melewati beberapa tempat di antaranya Gunung Merak, Gunung Pulosari, Gunung Puyuh, Gorowong, Ganeas, Gunung Lingga, dan tempat lainnya. Suatu ketika, ia berhenti di suatu daerah yang dianggapnya tepat untuk dijadikan tempat memperdalam ilmu kasumedangan. Daerah itu bernama Gunung Mandala Sakti (di sekitar Situraja)," tulis Mumuh.
Nah, kepada Gunung Mandala Sakti itulah Batara Tuntang Buana menyempurnakan ilmu Kasumedangannya hingga gunung tersebut terbelah dan saking saktinya, Batara Tuntang Buana merekatkannya kembali.
"Demikian hebatnya ilmu yang dimiliki Batara Tuntang Buana sehingga ia mampu membalut (menyimpay) kembali gunung tersebut sehingga kemudian gunung bernama Gunung Simpay," tulis Mumuh.
Sumedang dari Masa ke Masa
Kerajaan Sumedang Larang bertahan dari masa ke masa. Kocap tercerita, ketika Kerajaan Pajajaran runtuh, patih Jayaperkosa dari Pajajaran beserta sejumlah orang datang ke Sumedang Larang menyelamatkan Mahkota Binokasih, mahkota Kerajaan Sunda Pajajaran agar diselamatkan, supaya tidak direbut Banten.
Mahkota tersebut ada hingga kini, dan itu menjadi bukti Kerajaan Sumedang Larang bisa bertahan menghadapi berbagai perubahan zaman.
Menurut Mumuh Muhsin dalam makalah di atas, disebutkan bahwa Sumedang punya akar sejarah yang tidak pendek. Kerajaan Sumedang Larang mengalami masa prasejarah, yaitu ketika kerajaan ini pertama kali berdiri.
Masa Kerajaan Kuna Sumedang Larang terbentang antara tahun 900 sampai dengan 1601 masehi. Kemudian dilanjutkan masa Bupati Wedana tahun 1601 sampai dengan 1706), lalu masa Bupati VOC tahun 1706 sampai dengan 1799.
Ada pula masa Bupati Zaman Pemerintah Hindia Belanda sekitar tahun 1800 sampai dengan 1942, masa Bupati Zaman Pemerintah Pendudukan Jepang tahun 1942 sampai dengan 1945, dan bupati-bupati pada zaman kemerdekaan.
"Sejak masa Kerajaan Sumedang Larang sampai periode Pemerintah Pendudukan Jepang tercatat ada 29 penguasa (raja dan bupati). Tiap masa pemerintahan, tentu saja, meninggalkan jejak-jejak sejarahnya, baik yang bersifat artefak (fakta berupa benda-benda), mentifak (fakta mental), maupun sosefak (fakta sosial)," tulis Mumuh. (orb/orb)