Ahli waris Gamelan Sari Oneng Parakansalak meluruskan sejumlah cerita yang selama ini beredar terkait alat musik tersebut. Ahli waris ingin memperjelas keberadaan gamelan yang menjadi saksi bisu peninggalan zaman penjajahan itu.
Rangga Suria Danuningrat, cucu Bupati Sukabumi kedua R.A.A Soeria Danoeningrat yang memimpin tahun 1930-1942, menegaskan bahwa gamelan tersebut hingga kini masih tersimpan di kediamannya.
"Saya selaku ahli waris Gamelan Sari Oneng Parakasalak bermaksud meluruskan isu yang terlanjur beredar baik di media sosial maupun dalam cerita-cerita lain terkait dengan Gamelan Sarioneng Parakansalak. Saat ini keberadaan gamelan itu sudah berada di tangan ahli waris yang sah dari R.A.A Soeria Danoeningrat, sejak diambil kembali dari Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang tertanggal 7 November 2021 yang lalu," beber Rangga kepada detikJabar belum lama ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rangga kemudian melengkapi pernyataannya terkait gamelan tersebut. Beberapa hal yang ingin ia luruskan salah satunya tentang waditra (alat-alat yang digunakan dalam kesenian) dalam Gamelan Sari Oneng.
"Seperangkat Gamelan Sarioneng Parakansalak sejumlah 19 waditra, statusnya adalah sebagai barang titipan keluarga besar R.A.A Soeria Danoeningrat sejak akhir Desember 1975, dimana kemudian menyusul penitipan Go'ong Indung (Gong Besar) Sarioneng pada tahun 1989 yang diboyong dari Belanda," ujarnya.
"Hingga tanggal diambilnya gamelan Sari Oneng dari Museum Prabu Geusan Ulun karena pengambilan gamelan tersebut adalah atas hasil kesepakatan sebagian besar anggota keluarga besar R.A.A Soeria Danoeningrat," sambungnya.
Selanjutnya, Rangga meluruskan cerita yang menyebut gamelan Sari Oneng dibuat di Sumedang pada tahun 1825 serta rancaknya dibuat dari kayu besi Thailand serta merupakan pesanan administratur perkebunan teh Parakansalak yaitu Adriaan Walfaren Holle.
"Kami mempertanyakan dari mana sumber pernyataan tersebut, sebab tidak ada satupun informasi dari kakek saya ataupun yang selanjutnya disampaikan oleh ayah serta uwak-uwak saya, bahwa seolah gamelan itu dibuat di Sumedang pada tahun 1825 serta rancaknya dibuat dari kayu besi Thailand dan merupakan pesanan administratur perkebunan teh Parakansalak yaitu Adriaan Walfaren Holle," jelasnya.
Rangga bahkan meminta agar penyebar informasi untuk bisa membuktikan sumber primer atas informasi tersebut agar dapat dibuktikan kepada publik dan dipertangungjawabkan secara empiris. Kabar-kabar itu dijelaskan Rangga agar sejarah soal gamelan itu tidak menjadi bias dan sesat informasi.
"Hal ini sangatlah absurd mengingat Adriaan W. Holle baru lahir tanggal 25 Agustus tahun 1832 di Amsterdam dan baru berada di Parakansalak pada tahun 1860an. Hal ini menimbulkan pertanyaan, siapakah yang sebenarnya memesan Gamelan Sarioeng di Sumedang tahun 1825," ujar Rangga.
Lalu terkait adanya informasi lainnya yang menyebutkan bahwa Gamelan Sari Oneng Parakansalak dititipkan oleh administratur perkebunan teh Parakansalak pada saat itu yang menjabat adalah M.O.A Huguenin kepada Bupati Sukabumi kedua, R.A.A Soeria Danoeningrat karena khawatir dilebur oleh pasukan Jepang ditegaskan Rangga juga tidak benar.
"Informasi itu juga tanpa dasar sumber referensi yang jelas yaitu pada bagian frasa disembunyikan Bupati Sukabumi ke-dua R.A.A Soeria Danoeningrat karena khawatir dilebur oleh Jepang, yang menjadi pertanyaan untuk keperluan apa Jepang akan melebur kuningan Gamelan Sari Oneng Parakansalak sementara besi-besi dan meterial lain tidak dibongkar untuk dilebur, misalnya bangunan pabrik teh yang bermaterialkan besi, mengapa itu tidak dilebur saja oleh Jepang alih-alih melebur gamelan," tegasnya.
Lalu apa sebenarnya fakta dibalik Gamelan Sari Oneng? Rangga kemudian menuturkan kisah turun temurun dari mulai kakek hingga ayahnya dan kerabat yang lain yang juga mendapatkan informasi tersebut.
"Bahwa pada tahun 1937, menjelang kematian administratur perkebunan teh pada saat itu yaitu M.Th. Booreel, Gamelan Sarioneng Parakansalak sejatinya telah ada rencana akan diberikan kepada R.A.A Soeria Danoeningrat oleh M.Th. Boreel. Alasan bahwa ada kedekatan hubungan yang telah terjalin selama bertahun-tahun semenjak kakek saya menjabat sebagai Camat Benda tahun 1922," kisah Rangga.
Dimana sejak ada pendudukan Jepang, diboyong oleh Soeria Danoeningrat ke Bandung dan diselamatkan serta anak-anak Boreel disembunyikan di pendopo semasa R.A.A Soeria Danoeningrat menjabat sebagai bupati Sukabumi kembali pada masa pendudukan Jepang yaitu menjabat tahun berikutnya pasca kedatangan pasukan Jepang, yaitu mulai tahun 1943 hingga tahun 1945.
"Alasan lain di balik penyerahan gamelan itu karena Boreel melihat bahwa dari semua bupati di Priangan, hanya R.A.A Soeria Danoeningrat-lah yang belum memiliki pusaka berupa gamelan, sementara bupati lainnya sudah memiliki, maka oleh karena itu M.Th. Boreel merasa bahwa kakek saya harus memiliki seperangkat gamelan sebagai pusaka kebanggaan kepala daerah saat itu," ujarnya.
"Legitimasi penyerahan Sari Oneng dalam bentuk surat pemasrahan dilakukan kemudian tahun 1952 oleh M.O.A Huguenin lewat surat yang dilayangkan dari negeri Belanda dan diserahkan oleh anaknya M.O.A Huguenin yang saat itu sedang menjalani kuliah hukum di Bandung," pungkasnya menambahkan.