Sejumput Kisah Rindu di Lapak Bumbu Giling Heri Sukabumi

Sejumput Kisah Rindu di Lapak Bumbu Giling Heri Sukabumi

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Minggu, 30 Mar 2025 15:30 WIB
Suasana lapak bumbu giling Heri di Pasar Modern Sukabumi.
Lapak Bumbu Giling Heri Sukabumi. Foto: Syahdan Alamsyah/detikJabar
Jakarta -

Matahari baru naik sepenggalan, namun suasana di sebuah sudut sempit Pasar Semi Modern Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi mulai terasa ramai, lampu-lampu redup tergantung rendah, menciptakan bayangan panjang yang menari di antara asap, minyak, dan jejeran kepala manusia.

Di sebuah lapak yang berada di persimpangan gang, deretan ember plastik berisi bumbu menggoda berdiri layaknya harta karun kuliner.

Tangan pria berkaus cokelat bergerak cepat tanpa jeda. Satu sendok untuk bumbu rendang, satu lagi untuk semur, dan seterusnya. Wajahnya berkeringat, tapi tidak kehilangan senyum.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia seperti tengah menabur sedikit harapan ke dalam tiap kantong plastik yang disodorkan pembeli. Di atas lapak sebuah spanduk dengan latar hitam tertulis jelas, "UD BUMBU GILING Kang Heri, menerima penggilingn cabai".

"Ini bumbu pesanan untuk anak saya di Bandung. Nanti dikirim sekalian sama daging. Dia kangen masakan rumah, sementara dia tidak bisa mudik tahun ini, jadi nanti saya yang berlebaran di Bandung" ucap seorang ibu berkacamata, yang berdiri di antrean sambil menatap ke arah meja bumbu dengan tatapan sendu, Sabtu (29/3/2025).

ADVERTISEMENT

Ibu tersebut bercerita, putri tunggalnya bekerja sebagai seorang perawat di salah satu rumah sakit di Bandung. Sejak lulus kuliah keperawatan dan diterima bekerja dua tahun silam, ini adalah tahun pertamanya berlebaran di tempat kerja.

"Putri satu-satunya, yang ribut itu justru bapaknya yang ingin ke Bandung. Rencananya pas malam takbiran kami berangkat ke Bandung, mudah-mudahan enggak macet," lirihnya, tangannya kemudian menunjuk wadah bumbu. Tiba gilirannya dilayani pedagang bumbu giling.

Sekitar sepuluh orang berdiri di belakangnya, berdesak-desakan tapi tetap tenang. Wajah-wajah yang lelah namun hangat. Seorang perempuan muda dengan sweater krem memeluk tas kecilnya erat, sesekali melirik ponsel sambil menggigiti bibir.

Di sampingnya, seorang pemuda berambut ikal membantu meracik bumbu untuk ibunya yang menunggu di rumah. Pasar ini tak hanya penuh bumbu, tapi juga penuh cerita tentang rindu berkumpul saat Lebaran.

Seorang nenek membawa botol plastik bekas sirup berisi air santan yang ia pesan dari pedagang lain. Di tangannya juga tergenggam kantong berisi bawang goreng dan kue kering murah meriah. Ia akan membaginya dengan cucu-cucu yang sebentar lagi datang mudik.

"Dulu waktu anak-anak saya masih kecil, tiap Lebaran rumah selalu ramai, penuh suara tawa. Sekarang mereka sibuk, jarang pulang. Cuma cucu-cucu yang kadang datang. Makanya saya beli bumbu ini, mau masak opor dan rendang walaupun sedikit. Biar rumah enggak terlalu sepi pas Lebaran," ucap perempuan yang diketahui bernama Engkay ini, matanya berkaca-kaca sambil membenarkan kerudungnya yang sudah pudar warnanya.

"Saya kangen sebenarnya, tapi enggak bisa maksa karena anak-anak sudah punya kesibukan masing-masing. Yang penting masih ada cucu-cucu yang kadang suka nginep. Biarpun cuma makan pakai kue kering sama bawang goreng, saya senang. Yang penting rumah ramai, enggak sepi-sepi amat," kata Engkay, suaranya lirih,

Engkay kemudian melanjutkan ucapannya, sebuah perasaan rindu dari hati terdalamnya. "Lebaran itu bukan soal banyaknya makanan, tapi soal siapa yang nanti datang dan duduk bersama. Saya enggak tahu nanti siapa yang sempat pulang, tapi kalau ada yang datang, saya siapkan apa yang saya bisa. Walaupun cuma rendang dengan daging dua sendok, asal makannya bareng, rasanya jadi nikmat," ujar Engkay, sambil tersenyum kecil.

Mata Engkay menerawang ke arah kerumunan pasar yang mulai lengang, seolah membayangkan rumahnya yang sebentar lagi tak lagi sunyi.

Di antara suara spatula yang membentur baskom logam, terdengar sayup-sayup pembicaraan khas pasar.

"Tambah pedas, Teh?"

"Yang itu buat rendang ya, jangan campur!"

"Antre dong, jangan nyerobot!"

Tak ada yang benar-benar marah meskipun suara itu terdengar meninggi. Semua tampak maklum, di hari-hari menjelang Lebaran seperti ini, kesabaran seolah tumbuh alami, seperti daun salam yang ikut melengkapi wangi bumbu.

Lapak UD Bumbu Giling Heri bukan sekadar tempat jualan. Ia telah menjelma menjadi simpul dari banyak cerita rumah tangga, ibu-ibu yang ingin menyenangkan anaknya, pemuda yang belajar masak untuk Lebaran pertama tanpa ibu, nenek yang tak ingin kehilangan tradisi.

Hari beranjak siang, cahaya matahari semakin kuat masuk dari celah-celah atap. Tapi tak ada yang bergeming. Pasar tetap berdetak, dan bumbu tetap diracik. Di Pasar Semi Modern Palabuhanratu, Lebaran terasa dimulai dari sini dari aroma, dari peluh, dan dari rindu.

(sya/sud)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads