Kota Bandung punya banyak saksi sejarah, salah satunya dari bangunan cagar budaya. Rumah Potong Hewan (RPH) Ciroyom di jalan Arjuna, juga termasuk salah satu bangunan yang menyimpan banyak cerita sejak tahun 1935 lalu.
Jika bangunan RPH Ciroyom biasanya dikelilingi pepohonan, kini wajahnya agak berbeda. Bagian gapura dan pos penjaga bangunan, dihimpit oleh dua pagar seng dengan alat berat yang sedang beroperasi.
Sayang, cantiknya fasad bangunan Art Deco RPH Ciroyom sedang terancam. RPH yang juga menjadi Kantor Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) itu, menghalangi jalur proyek pembangunan flyover Ciroyom untuk Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kalau flyover ini dilanjutkan, maka bangunan bersejarah ini harus berkorban. Tentu saja banyak pihak yang khawatir, dan menyayangkan jika hal ini tak jadi perhatian pemerintah baik pusat maupun kota Bandung.
Ditemui di lokasi, Pihak dari Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Bandung David Bambang Soediono, pun menunjukkan bagian-bagian bangunan yang terancam akan tergusur.
"Ini saya tandai dengan tipex, saya ukur tarik garis lurus dipastikan bangunan yang sebelah sana (pojok kanan), pos penjaga, gapura, ini kena. Bagian ini yang asli. Kalau kanopi memang tambahan, tapi intinya bagian bangunan yang asli ini tidak boleh berubah," ucap David sambil menunjukkan bagian tepi jalan yang ia garis dengan tipex.
Ia cukup menyayangkan sebab bagian yang terancam tergusur ini seolah disepelekan. Sebab, dari rancangan PUPR memang mengatakan 'hanya' bagian pos yang terkena. Padahal nyatanya, seluruh orisinalitas bangunan cagar budaya bukan sekedar kata 'hanya'.
"Pendapatnya yang terkena hanya pos jaga, jadi tidak terlanggar. Tapi kalau cagar budaya sebetulnya ini sesuatu yang utuh, otentik, dan signifikan. Ada kantor jagal dengan pos penjaga dan selasar terlindunginya, itu kan luar biasa. Kalau seandainya dipotong ya satu kesatuan akan terganggu, jangan sekedar mengatakan hanya posnya, cara pikirnya nggak boleh begitu," ucap dia.
Sejauh ini, TACB sudah memberikan kajian dan penetapan untuk pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan bangunan cagar budaya. Menurut David, kalau memang bangunan ini harus dikorbankan, maka wilayah Ciroyom akan sangat berubah.
Ia pun menceritakan bahwa sejak 88 tahun yang lalu, seluruh bangunan ini difungsikan untuk RPH dengan tata perencanaan bangunan yang matang. Orang Belanda zaman dahulu menetapkan RPH di Ciroyom sebab lokasinya strategis, sehingga transportasi hewan bisa melalui rel untuk langsung masuk ke kandang. Hal ini demi keamanan, kesehatan, dan kecepatan hewan sampai di RPH.
David pun berharap agar sejarahnya tak dilupakan, atau bahkan kembali ditiru sistem operasionalnya. Para pemangku kebijakan juga perlu berdiskusi sambil mendengarkan pendapat dari para pegiat sejarah.
"Jadi pertimbangkan lah, ada potensi cagar budaya disini, penyelesaiannya bagaimana? Kalau solusi ya memang harus ada pertukaran informasi dan gagasan. Keberadaan ini kan ada unsur dengan hewannya, ini harus dipikirkan. Apalagi judulnya Proyek Strategis Nasional, pengangkutan hewan kota Bandung ini tentu menjadi masalah yang sangat strategis jadi harus dipikirkan," ucapnya tegas.
Di lokasi yang sama, Ketua Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung Aji Bimarsono juga ikut menunjukkan lokasi pembangunan flyover. Di tengah terik matahari, kabut pasir pembangunan membuat kondisi sekitar RPH jadi makin gersang.
Ia terlihat cemas melihat bangunan yang jadi ikon kota tempat tinggalnya dan sudah diperjuangkan bersama tim, kini belum jelas nasibnya.
"Kami sangat khawatir dan masih terkejut, karena kami baru tahu minggu lalu bahwa sudah ada pembangunan flyover yang sudah terjadi, sangat dekat. Pagar seng kalau diluruskan akan memotong bagian dari keaslian RPH," ucap dia.
"Kami sudah perjuangkan sejak 1997 untuk masukkan ke inventarisasi bangunan bersejarah yang harus dilindungi di kota Bandung dan diperkuat dengan dimasukan ke Perda cagar budaya 2009 dan diperkuat lagi 2018. Bangunan ini masuk ke golongan A cagar budaya jadi penting sekali. Jadi kami sangat memperjuangkan ini supaya tidak terkorbankan oleh pembangunan jalan layang," lanjut Aji.
Sekedar diketahui, bangunan cagar budaya terbagi menjadi tiga golongan yakni A, B, C, dan D. Dalam laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, hal ini ditentukan dari segi sejarah dan arsitekΒturnya.
Golongan A adalah bangunan bersejarah yang sangat baik nilai arsitekturnya. Bangunan tersebut tidak boleh ditambah, diubah, diΒbongkar, atau dibangun baru.
Aji pun mengungkapkan, bangunan ini sangat penting bagi kota Bandung karena juga merupakan fasilitas kota. Bangunan yang dulu dinamai Gemeentelijk Slachthuis te Bandoeng ini, dibangun tahun 1920 dan baru selesai 15 tahun kemudian.
Uniknya, rumah potong hewan ini meski didesain oleh pemerintah Belanda, sudah lengkap terdapat tempat pemisahan daging non halal dan halal. Lokasi pemotongan babi ada di sebelah kiri bangunan (dari muka bangunan) dan sebelah kanannya itu tempat potong sapi dan ayam.
"Hal itu kan menandakan modernisasi yang mempertimbangkan lokalitas kita. Jadi ini ada nilai signifikan budaya yang tinggi. Sayangnya sampai sekarang kami belum dapat kepastian bangunan ini akan dilindungi atau terproteksi," ceritanya.
Transparansi Pembangunan Flyover Ciroyom Dipertanyakan
Tak hanya itu, Aji juga mengkritisi masalah transparansi pembangunan oleh pemerintah pusat. Ia heran, mengapa pembangunan strategis tidak ada transparansi pembangunan untuk warga Bandung.
"Kemudian ini pembangunan jalan layang rencananya di jalan Garuda, tapi kok malah belok sini dan tidak ada sosialisasi? Bahkan malah mengancam kelestarian budaya yang kita jaga dan penting di kota Bandung. Itu juga jadi pertanyaan. Kita hindarkan pembangunan tidak transparan demi kepentingan masyarakat, bukan orang-orang tertentu," ucap Aji.
Ia dan tim Bandung Heritage saat ini mengaku bakal memperjuangkan agar bangunan bersejarah ini tidak digeser. Ia pun akan dengan senang hati menyambut jika DPRD atau Pemkot Bandung memfasilitasi ruang diskusi. Sebab kata dia, pemberi izin pemugaran cagar budaya bukan hanya dari pusat atau Pemprov Jabar, tapi juga Pemkot Bandung.
"Kalau misal golongan A aja bisa diotak-atik apalagi yang lain seperti golongan C, rumah dan toko peninggalan zaman dulu? Itu akan jadi catatan buruk, karena pembangunan ini menurut saya kurang bertanggung jawab ya, pembangunan mendadak, ada perubahan, solusi belum diselesaikan karena seng sudah dipasang tapi sini belum kan ada yang nggak jelas tapi pembangunan jalan terus," ucap Aji tegas.
(aau/tey)