Sebuah rumah mirip Imah Gede yang biasanya ada di permukiman penduduk daerah kesatuan adat Banten Kidul menyambut kedatangan tim detikJabar saat menjejakkan kaki di Kampung Cengkuk, Desa Margalaksana, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi.
Wajar saja, Kampung Cengkuk masih berada di wilayah Kesatuan Adat Banten Kidul dan menginduk ke Kasepuhan Gelar Alam (dulu Cipta Gelar) dengan pupuhu atau ketua adat kasepuhan Abah Ugi Sugriana Rakasiwi. Tak aneh, banyak didapati leuit (tempat menyimpan padi) di daerah tersebut.
Di Kampung ini terdapat jejak peninggalan zaman prasejarah bernama Situs Tugu Gede Cengkuk. Situs Tugu Gede Cengkuk merupakan situs terlengkap dari delapan situs unggulan berskala nasional yang ada di Kabupaten Sukabumi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbagai bentuk bangunan megalitik masih terawat seperti menhir, batu saji, batu lesung, batu lumpang, batu dakon, batu jolang, batu kasur, batu meja, batu kursi, batu limpak, serta punden nerundak.
Sebelum masuk ke lokasi situs, terdapat sebuah rumah informasi. Papan penunjuk bertuliskan 'Information Home Situs Tugu Gede Cengkuk' terpasang di depan. Di dalam bangunan itu tersimpan berbagai bukti kehidupan manusia Sunda di masa lalu. Tapi tak ada informasi jelas di era mana kehidupan itu berasal.
Menurut Juru Pelihara Situs Gede Cengkuk Abah Sujaya (70), keberadaan manusia Sunda zaman dulu masih menjadi perdebatan para peneliti hingga saat ini.
"Itu 10 ribu tahun sebelum masehi, Abah berani menyebutkan. Tapi peneliti dan arkeologi belum berani menyebut. Cuma abad sekian ribu tahun atau 6 ribu tahun, 8 ribu tahun sebelum masehi. Setiap menyimpulkan tahunnya tidak pas, tapi yang pasti bukti-bukti peninggalan orang Sunda di masa itu ada semua dan terjaga sampai hari ini," ungkap Abah Jaya saat ditemui detikJabar beberapa waktu lalu.
Contoh kecil soal itu, sebuah panel menampilkan informasi di depan bangunan tersebut hanya menuliskan soal pintasan informasi Situs Tugu Gede Cengkuk. Kalimat dalam panel ditulis dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Berikut tulisannya.
"Situs Tugu Gede terletak di Kampung Cengkuk, Kelurahan Margalaksana, Kecamatan Cikakak, tepatnya pada ketinggian rata-rata sekitar + 468 - 500 meter di atas permukaan air laut. Lokasi situs Tugu Gede terletak di lembah sekitar Gunung Halimun Berdasarkan tinggalan budaya yang terdapat di situs ini, kemungkinan besar situs ini merupakan lokasi aktivitas semenjak masa prasejarah hingga ke masa kemudian.
Hasil survei dan penggalian yang dilakukan oleh para peneliti di daerah ini menunjukan keragaman jenis dan bentuk tinggalan budaya Identifikasi temuan menunjukkan adanya tinggalan berupa tembikar, keramik, benda logam, alat batu,
dan monumen batu. Tembikar yang ada adalah pasu, periuk, cawan, cawan berkaki, tempayan, pedupaan cobek. Keramik yang ada berupa dan kendi, mangkuk, guci, botol, piring, vas, dan cepuk. Benda logam berupa genta, bandul, dan kaki wadah. Alat batu yang ada berupa batu giling, lumpang batu,
pipisan, mata tumbak, beliung, dan alat serut. Sedang monumen batu yang ada berupa batu jolang, dolmen, dan menhir. Salah satu menhir yang paling besar adalah menhir yang berukuran tinggi sekitar 4 m," kutip detikJabar dari panel tersebut.
"Kalau saya dapat informasi dan wawasan dari leluhur, turun temurun sebelumnya Bapak (orang tua) meninggal bapak memaparkan sejarahnya dalam setiap masa ke masa abad ke 1,abad ke 2, abad ke 3, abad ke 4 nya sampai saya sekarang, sampai kaitan dengan Prabu Siliwangi. Kalau arkeolog kan berkaitan dengan papasten (kepastian) berdasarkan usia dan temuan di wilayah ini," Abah Jaya.
Abah Jaya mengaku sangat terbantu dengan adanya sejumlah peneliti dari Badan Arkeologi yang melakukan penelitian. Hal tersebut menambah informasi yang sudah didapat secara turun-temurun.
![]() |
"Sedikit banyak kami yang di sini tahu, asal-usul dari benda-benda yang ditemukan. Anak-anak saya juga dapat 'pencerahan'," tutur Abah Jaya, ia terlihat fasih menjelaskan sejumlah benda yang sebagian merupakan replika karena aslinya tersimpan rapi di kamar ritual dalam tempat tinggalnya.
"Ini tombak batu untuk berburu, sementara ini adalah alat untuk meramu obat-obatan di masa itu. Kalau ini prasasti, replikanya, benda ini juga replika. Aslinya ada di dalam rumah," katanya sambil menunjukkan sejumlah benda.
Prasasti dimaksud menurut Abah Jaya adalah gambaran dari Dewi Padi, Dewi Pohaci. Dimana warga di Kampung Adat sangat menjunjung tinggi Dewi Pohaci, makanya tak heran mereka begitu menghargai hasil bumi terutama padi.
"Dewi Padi, Dewi Pohaci kalau di jawa (Jawa Tengah) Dewi Sri. Bagi masyarakat kami, terutama kasepuhan adat banyak aturan soal padi, bagaimana memelihara dan menjaga. Kami menanam tapi hasilnya tidak untuk dijual, bisi kabendon (takut kena tulah,)," pungkas Abah Jaya.
(sya/iqk)