Warga Pangalengan, Kabupaten Bandung punya kenangan tersendiri terhadap sosok Karel Albert Rudolf Bosscha. Melalui tangannya, pria asal Belanda ini mengelola perkebunan the yang kini bernama perkebunan Malabar.
Hasil pengelolaan Bosscha bisa dirasakan hingga saat ini oleh masyarakat. Pemandangan indah hamparan kebun teh dan hasilnya masih bisa dirasakan masyarakat sekitar.
Bosscha datang ke Indonesia tahun 1887. Selang beberapa tahun, Bosscha mulai menapaki tanah Pangalengan, tepatnya di tahun 1896.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dulu pak Bosscha datang ke sini pas kondisi di sininya masih hutan belantara kalau kata orang sunda mah 'leuweung geuleudeugan'," ujar Abah Caca, Salah satu Penjaga makam Bosscha, saat ditemui detikJabar belum lama ini.
Dari kisahnya, kata Abah Caca, kedatangan Bosscha ke Pangalengan untuk membuat perkebunan the. Bosscha lantas meminta restu ke pemerintah setempat kala itu.
"Terus ceritanya mereka setuju lah. Kemudian pepohonannya di tebangin, dan kayunya dipakai perumahan karyawan atau para petani yang kerja di Bosccha. Padahal dahulu belum ada karyawannya," katanya.
Demi mempermulus tujuannya, Bosscha langsung mengumumkan kepada masyarakat bagi yang ingin bekerja dengannya. Terlebih, Bosscha sudah menyediakan rumah bagi para pekerja.
"Bagi masyarakat yang akan kerja padanya bisa menghuni rumah-rumah tersebut. Tak lama, banyak aja yang bekerja di Bosscha. Karyawannya ada orang Pangalengan, ada orang Garut, dan lain-lain," ucapnya.
Awalnya, perkebunan tersebut belum memiliki nama. Setelah Bosscha memiliki banyak karyawan, barulah nama itu muncul. Saat itu, ada beberapa nama yang dipilih seperti Afdeling Malabar, Afeling Pasir Malang, Afdeling Babakan hingga Afdeling Cibolang.
"Setelah karyawannya banyak, terus udah ada yang ngurus teh nya, Bosccha langsung membangun rumah di dekat sekolah Malabar. Kata orang tua dulu, rumahnya ada 14 rumah di daerah situ. Tapi yang ditempati Bosccha hanya satu rumah," tuturnya.
Banyak pribumi antusias untuk bekerja dengan Bosscha. Bahkan sosok Bosscha dikenal sebagai juragan.
"Wah saat itu mah langsung ramai aja, ada yang kerja metik, pemeliharaan, ada yang buat budidaya ulat, budidaya engang. Semuanya disetorkan ke juragan. Kalau sudah beres, tugasnya langsung ngontrol," bebernya.
Bosscha bukan tipe bos yang cuma duduk. Setiap kali, Bosscha mengontrol perkebunannya. Seluruh area perkebunan tak luput dar matanya.
Hingga suatu ketika, kejadian pahit terjadi, Bosscha sempat terjatuh dan kakinya tersangkut ke akar.
"Kemudian berjalannya waktu dirinya sering kontrol ke seluruh area perkebunan teh miliknya. Hingga pada suatu saat dirinya jatuh kakinya tersangkut kena akar. Itu kata pegawainya dulu. Jadi bosscha bukan jatuh dari kuda, soalnya dia mah gak punya kuda," tegasnya.
Kejadian itu yang membuat Bosscha kerap diterpa sakit. Lama berobat ke rumah sakit Junghuhn, Bosscha akhirnya meninggal dunia di tahun 1928.
"Lama kelamaan sakit-sakitan terus sampai meninggal we tahun 1928," kata Abah.
Sebelum meninggal, Bosscha sempat berkumpul bersama para temannya di kursi yang terletak dekat makam. Dalam kesempatan tersebut Bosscha menginginkan di makamkan di lokasi tersebut.
"Dia bilang ke si abah jangkung dan emak eyang yang ada di gunung nini. Sambil roti keju, terus ngerokok 55 rokok dulu. Dia bilang kalau juragan meninggal, jangan di bawa ke negeri (Belanda), kubur aja di sini juragan mah," ucap Abah
"Dia bilang 'Nah ini saya udah ngegambar denah makam kalau nanti menginggal'. Gambarnya meminta seperti yang saat ini dibangun. Jadi sudah dirancang sama dia, bentuk topinya kaya gini. Setiap hari juragan selalu pakai topi yang bentuknya kaya atap makam ini. Nama topinya adalah kadatuan," beber Abah.
Abah menambahkan pada saat pemakaman Bosscha seluruh keluarga besarnya memadati kawasan tersebut. Bahkan banyak mobil-mobil mewah yang kala itu belum ada di Indonesia.
"Pas pemakaman banyak ahli waris atau keluarganya yang berdatangan. Pokonya antrean mobilnya dari makam sampai ke gang deket PLTA Plengan we," ujar Abah.
Setelah dikubur, makam Bosscha terus dijaga oleh keluarga dan kerabatnya hingga satu tahun lamanya. Setelah itu, perkebunan teh tersebut langsung diserahkan ke PTPN 8.
"Soalnya perjanjian di awalnya adalah nantinya perkebunan teh tersebut akan diserahkan ke orang pribumi yang bisa mengelola," bebernya.
Abah menuturkan setelah Bosscha meninggal dunia, keluarganya atau anak-anaknya kerap mengunjungi makam tersebut. Namun saat ini belum ada lagi keluarganya yang datang.
"Dulu mah suka ada keluarganya namanya Noni, tapi udah meninggal, katanya anaknya. Dia ada di Sukabumi," ucap Abah.
Menurutnya saat mengelola perkebunan teh tersebut, Bosscha tidak membawa istri dan anak-anaknya. Sehingga dirinya di sini hanya ditemani teman-teman bisnisnya dari Belanda.
"Soalnya dia di negeri punya istri, punya anak, tapi ke sini gak di bawa anak istrinya. Dia cuma bawa teman-temannya dari Belanda yang ngurusin ini juga," pungkasnya.