Observatorium Bosscha genap berusia 100 tahun pada Januari 2023 ini. Kiprah observatorium itu dimulai pada tahun 1923, tepat saat pembangunannya mulai dilaksanakan.
Observatorium Bosscha yang berdiri kokoh di atas perbukitan Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB), menjadi satu di antara beberapa observatorium astronomi di belahan bumi Selatan sebagai tonggak awal astronomi modern di Asia Tenggara.
Bangunan ikonik Observatorium Bosscha tersempil di antara rimbun pepohonan Jalan Peneropongan Bintang, Desa Gudang Kahuripan, Kecamatan Lembang, KBB. Berada di bawah naungan Institut Teknologi Bandung (ITB), Observatorium Bosscha baru saja merayakan hari jadinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Senin, 30 Januari 2023, puluhan tamu undangan berpakaian batik datang ke Observatorium Bosscha. Satu di antaranya yakni Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Ia memuji peran Observatorium Bosscha bagi ilmu pengetahuan dan astronomi dunia.
Membahas sejarahnya, Observatorium Bosscha diresmikan pada 1 januari 1923. Tempat peneropongan bintang dan benda langit lainnya itu didirikan oleh Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV) atau Perhimpunan Bintang Hindia Belanda atas prakarsa pengusaha kaya bernama Karel Albert Rudolf Bosscha yang kelak namanya diabadikan sebagai nama observatorium tersebut.
"Saat itu tujuannya demi mengadakan fasilitas astronomi modern untuk mengambil bagian dalam pengembangan ilmu pengetahuan," ujar Kepala Observatorium Bosscha, Premana W. Premadi saat berbincang dengan detikJabar.
Dari rangkuman sejarah pembangunan Bosscha yang dituangkan ke dalam sebuah buku bertajuk 'Seabad Observatorium Bosscha 1923-2023', dibahas juga soal alasan Lembang dipilih sebagai lokasi pembangunan Observatorium Bosscha.
Perbukitan Lembang dipilih sebagai lokasi observatorium setelah melalui berbagai riset. Pertimbangannya yakni stabilitas geologi, cuaca cerah, jumlah malah cerah per tahun, dan kerjasama multidisiplin dengan Technische Hogeschool te Bandung yang kemudian dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB).
Pembangunan gedung kubah dimulai pada tahun 1923. Diawali dari pembangunan fondasi bangunan, fondasi teleskop, dan dinding bangunan. Pembangunan dilaksanakan oleh Hollandshe Beton Maatschappy dan selesai pada tahun 1925.
Gedung teleskop Zeiss atau yang dikenal juga dengan Koepel yang berarti kubah dalam Bahasa Belanda, dirancang oleh Profesor Charles Prosper Wolff Schoemaker, seorang guru besar Arsitektur di Technische Hogeschool te Bandung atau ITB.
Kubah yang melindungi teleskop dari angin memiliki sebuah jendela yang dapat dibuka selebar tiga meter. Dengan memutar kubah, jendela tersebut dapat diarahkan ke depan teleskop.
Lantai untuk pengamatan dapat dinaikkan dan diturunkan ketika teleskop mengarah ke bagian yang berbeda. Seluruh gerakan kubah dan lantai dikontrol oleh listrik.
"Bosscha ini kan sebetulnya observatorium yang agak terisolir tempatnya. Jadi apa-apa kita lakukan sendiri. Tapi dari segala keterbatasan itu, akhirnya mendorong kita untuk kreatif," ucap Premana.
Perjalanan Observatorium Bosscha sempat mengalami resesi tatkala terganggu oleh peran dunia dan perang merebut kemerdekaan. Sampai akhirnya pada 18 Oktober 1951, Observatorium Bosscha diserahkan ke Republik Indonesia yang kemudian dikelola oleh ITB.
Teleskop Raksasa Dipesan Khusus dari Jerman
Teleskop raksasa di Observatorium Bosscha. (Foto: Whisnu Pradana/detikJabar)
|
Program ilmiah pertama tidak dapat sepenuhnya direalisasikan sampai kedatangan teleskop primadona pertama pada tahun 1928, yakni refraktor ganda Zeiss yang merupakan teleskop tercanggih pada masa itu.
Teleskop dipesan khusus dari Jerman oleh K.A.R. Bosscha dan Dr Joan Voute sebagai Direktur Observatorium Bosscha pertama. Desain dari teleskop Observatorium Bosscha sendiri unik dan versatile, yakni optomekanik berupa dua teleskop berdiameter 60 centimeter dipasang sejajar dalam tabung berukuran sekitar 11 meter.
"Di tahun 1950 itu kemudian disiapkan teleskop survey (Teleskop Schmidt) untuk mengamati bintang di Galaksi Milkyway yang bentangannya paling besar dari garis Ekuator ke arah Selatan," kata Premana.
Premana menyebut Observatorium Bosscha punya beberapa generasi teknisi yang sangat bisa diandalkan untuk urusan optik dan astromekanik. Saat ini bahkan pihaknya sedang mengembangkan pengamatan dengan sistem robotik.
"Nah yang sekarang kita kembangkan adalah sistem remote robotic telescope. Jadi teleskop yang bisa dioperasikan dari jarak jauh secara robotik. Nantinya teropong bisa diletakkan di multilokasi dan dioperasikan dalam satu waktu untuk melakukan pengamatan," tutur Premana.
Diajukan Jadi Bangunan Cagar Budaya
Observatorium Bosscha zaman dulu. (Foto: Whisnu Pradana/detikJabar)
|
"Bosscha ini menjadi tempat paling istimewa di dunia karena berada di garis ekuator yang bisa melihat bintang di hemisphere utara dan di hemisphere selatan," ujar Emil.
Emil mengatakan saat ini pihaknya terus mengupayakan pelestarian Observatorium Bosscha menjadi bangunan cagar budaya. Penetapan observatorium menjadi bangunan cagar budaya membuat dukungan anggaran dan peraturan bakal hadir.
"Kami juga terus mengupayakan melestarikan membuat jadi cagar budaya supaya nanti kawasan ini bisa dilestarikan hingga tujuan utama untuk menghasilkan kajian dan temuan tidak terganggu oleh perkembangan ekonomi atau pembangunan yang menggerus wilayah ini," kata Emil.
Emil menyebut status cagar budaya yang sedang diajukan menjadi jawaban atas keluhan peneliti di Observatorium Bosscha soal polusi cahaya. Hal itu sedikit banyak berdampak pada pengamatan fenomena astronomi.
"Salah satu jawaban soal keluhan polusi cahaya itu dimulai dengan penetapan cagar budaya. Kemudian zonasi master plan yang kita update, RDTR dan RTRW. Intinya seimbang, karena kebutuhan ekonomi juga tidak bisa kita hindari, sampai batas yang tidak saling menegasikan," tutur Emil.