Kota Bandung berusia genap 212 tahun pada 25 September 2022. Sejarah Bandung tak lepas dari perkembangan perkebunan kopi. Kini, Bandung menjadi metropolitan dan salah satu primadona wisatawan.
Dikutip dari jurnal Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung yang disusun Nandang Rusnandar yang berjudul 'Sejarah Kota Bandung "Bergedessa" (Desa Udik) Menjadi Bandung "Heurin Ku Tangtung" Metropolitan, yang terbit di Pantajala Vol 2 No 2 Tahun 2010, mengupas perkembangan Bandung dari masa ke masa.
Pada tahun 1641, seorang Mardijker bernama Julian de Silva melaporkan yang tertuang dalam dagregister --catatan harian--. Julian menyatakan ungkapan "Aen een negorij genaemt Bandong, bestaende uijt 25 'a 30 huysen.....". Ungkapan itu memiliki arti ada sebuah negeri dinamakan Bandong yang terdiri dari 25 sampai 30 rumah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asumsinya, jika satu rumah berisi empat anggota keluarga, maka dari 25 sampai 30 rumah itu diperkirakan jumlah penduduk Bandong berkisar 120 jiwa. Diduga semuanya orang Sunda.
"Itulah penduduk yang menempati Kota Bandung, sebagai cikal bakal Kota Bandung dewasa ini," tulis Nandang dalam jurnal penelitiannya.
Kemudian, Bandung pada abad ke-17 disebut sebagai Negorij Bandong atau West Oedjoeng Broeng. Namun, saat itu penduduk pribumi hanya mengenal Tatar Ukur. Wilayah Tatar Ukur dikepalai seorang penguasa bernama Wangsanata atau lebih dikenal dengan sebutan Dipati Ukur, seperti dikutip jurnal tersebut dalam buku Haryoto Kunto berjudul Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (Granesia:1984).
Sejak saat itu, secara berkala Kasteel van Batavia atau Benteng Kompeni mengirimkan mata-matanya ke daerah Tatar Ukur. Selain Julian de Silva, Abraham van Riebeek juga datang ke Bandung. Ia adalah orang asing pertama yang mendaki Gunung Papandayan dan Gunung Tangkubanparahu. Namun sayang ia meninggal dalam perjalanan pulang dari puncak Tangkubanparahu pada tanggal 13 November 1713.
Sementara itu, dalam jurnal itu yang dikutip dari sejarah perkebunan kopi menyebutkan van Riebeek dikenal sebagai orang pertama yang membawa benih kopi ke Bandung, khususnya dan Pulau Jawa pada umumnya.
Suburnya tanaman kopi di wilayah Bandung dan sekitarnya menimbulkan kebiasaan minum kopi bagi penduduknya. Banyak penduduk yang menjadi buruh pemetik kopi, khususnya kaum wanita. Munculah lagu nyanyian rakyat saat itu.
Lagu itu muncul karena para pemetik teh yang kebanyakan kaum wanita sering diganggu, baik oleh tuan Belanda atau pun para mandor kebun. Di samping itu, dari kebiasaan meminum kopi yang dilakukan oleh masyarakat, kemudian menambah perbendaharaan kata dalam kosa kata Sunda.
Kata ngopi yang artinya meminum air kopi, akan tetapi dalam keseharian, kata ngopi itu tidak saja ditujukan pada arti meminum air kopi, melainkan mempunyai makna yang lebih luas yaitu untuk mengajak makan-makan makanan ringan walaupun tanpa ada air kopi sekalipun.
Surga dalam Pembuangan
Pada tahun 1741, tepatnya seabad kemudian dari kedatangan Julian de Silva dan tiga puluh tahun setelah kedatangan van Riebeek, Kompeni Belanda menempatkan seorang tentaranya yang bernama Arie Top yang berpangkat Kopral, dengan jabatan yang disandangnya sebagai plaatselijk militair commandant (komandan militer yang menetap di suatu daerah), pangkat ini sekarang mungkin setingkat Babinsa.
Setahun kemudian setelah kedatangan Arie Top ini, pada 1742, penduduk wilayah Bandung kedatangan dua orang warga Eropa yaitu Ronde dan Jan Gesybergen, adik dan kakak. Total tiga orang, satunya adalah buangan dari Batavia yang berpangkat Kopral.
Ketiga orang inilah kemudian membangun Bandung dengan jalan membuka hutan dan sukses membuat perusahaan penggergajian. Oleh sebab, julukan 'Paradise in Exile' (surga dalam pembuangan) ini lahir karena tempat yang awalnya hanya jadi tempat pembuangan orang, ternyata menyimpan potensi yang luar biasa.
Bandung pada pertengahan abad ke-18 itu masih berupa hutan rimba, di sana-sini masih tersisa genangan air sisa-sisa dari danau purba, sehingga masih banyak situ tersebar di sekitar Bandung dan selebihnya masih berupa ranca (rawa-rawa).
Keadaan wilayah seperti ini, oleh Belanda dijadikan tempat pembuangan bagi soldadu atau pegawai pemerintahan yang membuat kesalahan, karena Bandung dianggap 'neraka', dengan hutan rimba yang menyeramkan.
Istilah dalam bahasa Sunda untuk menggambarkan keadaan rimba belantara Bandung itu dengan sebutan top maung top badak (siap dimakan harimau dan badak). Transportasi untuk mencapai daerah pedalaman Priangan atau Bandung hanya melalui Sungai Citarum, dengan menaiki perahu atau rakit bisa mencapai daerah 'neraka' ini.
Kemudian, pada 1786 jalan setelan yang dilalui kuda mulai dicoba untuk saling menghubungkan antarkota, Batavia-Bogor-Cianjur-Bandung. Jalan setapak kuda ini dijadikan transportasi untuk perkebunan kopi, dari Priangan ke Batavia. Pengangkutan hasil perkebunan tak lagi menggunakan jalur Sungai Citarum.
(sud/yum)