Kota Bandung menyimpan sejuta cerita, termasuk cerita Saritem, sebuah lokalisasi yang melegenda. Meski telah ditutup oleh Pemerintah Kota Bandung, namun Saritem masih melekat dengan Ibu Kota Provinsi Jawa Barat ini.
Dari catatan sejarah, lokalisasi Saritem kabarnya telah ada sejak zaman kolonial Belanda di tahun 1838. Sejak saat itu, kawasan Saritem dikenal sebagai tempat lokalisasi yang melegenda di Bandung sebelum akhirnya ditutup pada 2007 silam.
Lalu seperti apa sejarah dari Saritem?
Ariyono Wahyu Widjajadi, pegiat Komunitas Aleut Bandung mengatakan, sejatinya tidak ada fakta pasti yang menceritakan tentang sejarah dari lahirnya Saritem.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun dari buku berjudul Saritem Uncensored karya Wakhudin, pria yang akrab disapa Alex ini menerangkan jika Saritem sudah ada sejak tahun 1838 dimana Bandung baru berusia 28 tahun.
"Itu tuh sebenarnya sejarahnya gak ada, fakta yang sebenarnya hanya dugaan aja. Saya ngutip satu buku, judulnya Saritem Uncensored. Dia juga bilang sejarahnya belum jelas juga," kata Alex, Senin (19/9/2022).
"Tapi ada sumber di buku itu, Saritem mulai tahun 1838, berarti kan Bandung baru umurnya sejak dipindahkan berdasarkan surat perintah Gubernur Deandels 1810, berarti baru 28 tahun," ujarnya.
Alex menjelaskan, di buku tersebut diceritakan jika Saritem lahir dari sebuah fenomena bernama gundik di tangsi militer yang ada di kawasan Gardu Jati yang saat ini dikenal sebagai kawasan Saritem, di Kecamatan Andir, Kota Bandung.
"Tahun segitu ada tangsi militer di sekitar Gardu Jati, yang jadi jalan Saritem sekarang. Terus Saritem itu satu nyai dari tangsi militer itu," ujarnya.
Gundik sendiri menurutnya adalah perempuan yang tinggal bersama dengan personel militer yang merupakan pria asal Belanda. Sosok perempuan yang menjadi gundik itu disebut sebagai Nyai.
"Nyai disini itu gundik, pengertiannya itu perempuan yang tinggal bersama orang Belanda," ungkapnya.
Ia menjelaskan, Nyai yang menjadi gundik kemudian diminta lelaki di tangsi militer untuk mencari perempuan lainnya. Sejak saat itu, banyak perempuan yang kemudian tinggal bersama pria Belanda.
Tidak hanya dari Bandung, perempuan yang menjadi gundik militer Belanda menurutnya juga berasal dari daerah lain seperti Sumedang dan Indramayu.
"Jadi Nyai di tangsi militer ini kemudian diminta carikan perempuan, ceritanya begitu akhirnya menyanggupi Nyai ini mencarikan perempuan untuk personel militer di Gardu Jati ini. Akhirnya dicari dari berbagai daerah seperti Sumedang dan Indramayu," jelasnya.
Lambat laun, fenomena gundik tersebut menurut Alex berubah jadi lokalisasi. Sebab di kawasan tersebut, warga juga kemudian menjalani bisnis yang sama yakni menyediakan jasa perempuan untuk kencan.
"Kemudian katanya di tangsi ini difasilitasi rumah besar untuk kegiatan ini dan banyak orang datang untuk mencari perempuan. Ini berlangsung lama dan akhirnya penduduk sekitar mengikuti juga dengan membuka usaha yang serupa," ujar Alex.
"Intinya gitu yang saya kutip dari buku," katanya.
(bba/yum)