Jahitan Kehidupan Tukang Sol, Bisnis Hijau yang Tergerus Konsumerisme

Faizal Amiruddin - detikJabar
Kamis, 18 Sep 2025 07:00 WIB
Tukang sol di kawasan Simpang Tiga Sukawarni Tasikmalaya tengah tekun bekerja (Foto: Faizal Amiruddin/detikJabar).
Tasikmalaya -

Bagi sebagian masyarakat Tasikmalaya, kawasan Simpang Tiga Sukawarni, sekitar Pasar Lama Kecamatan Cihideung, dikenal sebagai pusat perbaikan sepatu.

Di tengah hiruk pikuk arus lalu lintas yang padat, berderet tangan-tangan terampil yang siap memperpanjang usia pakai alas kaki kita.

Meja-meja kayu kecil yang di atasnya berserakan potongan kulit, jarum, benang, berjejer di bawah tenda-tenda sederhana yang lusuh.

Saat mendekat, aroma lem yang menyengat seakan menabrak ujung hidung. Suara ketukan palu, sesekali terdengar di antara hempas debu jalanan.

"Kalau Jakarta ada Poncol, Bandung ada Cikudapateuh, nah kalau Tasik di Pertigaan Sukawarni. Pusatnya tukang sol sepatu," kata Didin Kumis (64), salah seorang tukang sol, Rabu (17/9/2025).

Didin termasuk tukang sol senior, dia sudah menekuni usaha ini sejak awal 80-an. Menurut dia, keberadaan tukang sol di Pertigaan Sukawarni sudah ada sejak era tahun 60-an. Dulu selain sol sepatu, di sini juga melayani penjualan dan perbaikan pelana kuda dan kalung anjing atau domba adu.

"Dulu ramai, dok-dak (suara palu saat memperbaiki alas bawah sepatu). Tukang sol banyak, ada lebih dari 25 lapak. Penuh di kiri dan kanan jalan," kata Didin.

Tukang sol di kawasan Simpang Tiga Sukawarni Tasikmalaya tengah tekun bekerja. Foto: Faizal Amiruddin

Namun seiring perkembangan zaman, keberadaan tukang sol sepatu kini semakin berkurang. Tersisa tak lebih dari 10 orang saja. Setiap hari mereka melayani konsumen yang kian hari kian berkurang.

Perubahan pola hidup konsumtif dan banyaknya produk sepatu berharga murah, diyakini membuat masyarakat yang memperbaiki sepatu kian berkurang.

Selisih yang tak terlampau jauh, antara ongkos jasa perbaikan dan membeli baru, membuat ceruk bisnis tukang sol tergerus.

"Sekarang banyak kan sepatu baru harga seratus ribuan, ya walau pun kalau bicara kualitas tahu sendiri seperti apa. Tapi mungkin saja itu membuat orang yang ngesol jadi berkurang, terutama yang ganti sol bawah," kata Ateng, tukang sol lain di kawasan itu.

Ateng mengaku, saat ini roda usahanya semakin lesu. Dapat 4 konsumen sehari, kini dianggap sudah luar biasa. Rata-rata sehari dapat 1 atau 2 konsumen.

Untuk jasa menjahit sepatu jebol, mereka memasang tarif di rentang Rp 20 ribu sampai Rp 30 ribu, tergantung tingkat kesulitan. Sementara untuk penggantian alas, tarifnya di rentang Rp 75 ribu sampai Rp 100 ribu.

"Memang lagi lesu, sekarang kita bertahan saja asal ada untuk makan dan jajan anak sudah Alhamdulillah. Kalau andalan kita sekarang adalah sepatu-sepatu olahraga, itu yang masih banyak orang ngesol," kata Ateng.

Meski mengakui usaha sol sepatu sedang lesu, sebagai tukang sol senior Didin Kumis tetap menyatakan optimisme. Dia meyakini eksistensi tukang sol akan tetap bertahan, tidak akan musnah tergilas zaman.

"Kalau sampai hilang, menurut saya tidak. Kalau sekarang sepi iya, kita kan jasa. Orang masih banyak yang pakai sepatu-sepatu mahal, pasti butuh perbaikan," kata Didin.

Didin tak menampik, jika diperbandingkan, antara kondisi usahanya kini dan di masa lalu, terdapat perbedaan yang signifikan.

Di era 80-an, Didin mengaku sehari bisa membawa pulang uang Rp 5.000 sementara harga perhiasan emas Rp 9.000 per gram. Jika dikonversikan dengan kondisi saat ini, sangat jauh berbeda.

"Kalau mau dibandingkan, misalnya sekarang harga emas Rp 1,5 juta, harusnya kita dapat Rp 750 ribuan sehari. Tapi kan kenyataannya tidak, sekarang bisa dapat Rp 200 atau 300 ribu saja, susah," kata Didin.

Simak Video "Video: Kendaraan Logistik Pengangkut MBG Masuk Jurang di Tasikmalaya"


(mso/mso)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork