Mereka memproduksi tusuk satai dengan menggunakan sebilah golok. Bahkan dengan piawainya para emak-emak tersebut membelah kayu gombong dengan ukuran yang kecil.
Produksi satai yang mayoritas emak-emak tersebut berada di Kampung Randukurung, Desa Kutawaringin, Kecamatan Kutawaringin. Dalam kesehariannya mereka bisa memproduksi hingga ratusan tusuk satai.
Tak heran jika wilayah tersebut telah dijuluki sebagai sentra pembuatan tusuk satai. Masyarakat di wilayah tersebut lebih menyebut tusuk satai dengan nama ancos.
Nampak terlihat beberapa tusuk satai yang telah jadi nampak dijemur di halaman depan rumah warga. Kemudian terdapat beberapa warga yang membuat ancos di depan rumahnya.
Salah satu emak-emak tersebut adalah Karmini (63). Dirinya terlihat lihai dalam memotor setiap jengkal tusuk satai. Setelah ukurannya pas, bagian depan tusuk satai tersebut langsung diruncingkan olehnya.
"Kalau dari kapannya udah lupa. Ada lah puluhan tahun yang lalu mah. Seinget saya mah di sini udah ada sekitar dari tahun 1950-an. Tokoh awalnya ada Otob," ujar Karmini, saat ditemui, Jumat (14/6/2024).
Menurutnya pembuatan tusuk satai tersebut telah terjadi secara turun menurun. Bahkan dirinya pun meneruskan apa yang telah dikerjakan oleh kedua orang tuanya. "Iya jadi turun menurun lah di sini mah," katanya.
Karmini mengungkapkan para pembuat tusuk satai mayoritas adalah emak-emak. Sehingga para emak-emak rumah tangga pun memiliki kegiatan atau berpengasilan. "Emang mayoritas perempuan yang buatnya. Kalau para suami mah bekerja seperti biasa, ada yang petani, yang wiraswata, ada kantoran dan lain-lain," jelasnya.
Menurutnya para perempuan lebih baik berwirausaha tusuk satai dibandingkan hanya berdiam diri di rumah. Kata dia, hal tersebut bisa menghasilkan uang tambahan. "Iya lumayan aja dari pada diam aja di rumah. Mending usaha kayak gini kan lumayan," ucapnya.
Karmini mengungkapkan dari satu batang bambu bisa menghasilkan 200 sampai 300 ikat tusuk satai. Satu ikat tusuk satai bisa dijual dengan harga Rp 1.500 dan Rp 2.500 per dua ikat.
"Pendapatan lumayan lah per harinya masih di bawah Rp 100 ribu," bebernya.
Pembuatan tusuk satai bisa dikerjakan selama tiga sampai lima hari. Pembuatan ancos telah tersebar di beberapa kampung di Desa Kutawaringin dan Desa Cibodas.
"Ada Kampung Cipeundeuy, Kampung Randukurung, Kampung Ciherang, Kampung Sinday, dan Kampung Cigondok," kata Karmini.
Sementara itu, pengrajin lainnya, Uu (73) mengaku akan terus bertahan menjalani pembuatan ancos tersebut. Meskipun, kata dia, pendapatannya tidak terlalu besar.
"Sekarang hanya duduk-duduk di rumah juga akan jenuh. Membuat ancos (tusuk satai) juga jenuh, tapi kan menghasilkan, walaupun tidak besar," bebernya.
Uu mengungkapkan tusuk satai buatan warga kerap dibawa oleh bandar diwilayah tersebut. Kemudian dipasarkan ke berbagai daerah. "Iya nanti dibawa sama bandar. Lumayan lah buat sehari-hari mah," pungkasnya. (sud/sud)