Perajin tusuk sate di Dusun/Desa Tangunan, Puri, Mojokerto tergolong legendaris karena eksis sejak 1985. Keterbatasan ekonomi membuat mereka bertahan dengan metode produksi yang nyaris tak tersentuh modernisasi.
Penuh ketelatenan, Tumiarsih (63) menancapkan bilah bambu ke lubang alat serut tradisional. Setelah 12 lubang terisi, ia menariknya satu per satu dari sisi belakang menggunakan tang. Seketika bilah bambu menjadi lebih halus dan rapi.
Selanjutnya, bilah bambu serutan ia jemur seharian sampai benar-benar kering. Baru lah setiap bilah ia runcingkan menggunakan gerinda berpenggerak dinamo. Alat peruncing menjadi satu-satunya mesin yang ia miliki.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Proses produksi yang tergolong masih tradisional ini ia gunakan sejak 20 tahun lalu. Sebelum itu, nenek 5 cucu ini memproduksi tusuk sate dengan manual. Yaitu pemotongan bambu dengan gergaji, serta mencacah, menghaluskan sampai meruncingkan bilah dengan pisau.
Baca juga: Perajin Tusuk Sate di Mojokerto |
"Awalnya disuruh pemilik Warung Sate Tangunan. Dulu permintaan banyak, 3.000 biji tusuk sate kambing per minggu," kata Tumiarsih kepada wartawan di rumahnya, Rabu (4/6/2025).
Tumiarsih membuat alat serut tusuk sate bermodalkan Rp 60.000. Yaitu untuk membeli 2 set bilah pisaunya. Masing-masing set untuk menyerut tusuk sate kambing dan ayam. Sedangkan dudukan kayu dirakit suaminya, Tamsir (68).
Ibu dua anak ini memproduksi tusuk sate kambing dan ayam dengan ukuran berbeda. Tusuk sate kambing ia buat sepanjang 18 cm dan diameter 2,5 mm, sedangkan tusuk sate ayam 22 cm dan diameter 2 mm. Bahan bakunya ia memilih bambu ori atau duri.
![]() |
Sehari-hari, Tumiarsih melayani pesanan dari 2 warung sate di Desa Tangunan dan Desa Segunung, Dlanggu, Mojokerto. Rata-rata setiap bulan, ia menghasilkan 30.000 biji tusuk sate. Dengan harga jual hanya Rp 35/biji, maka omzetnya Rp 1.050.000/bulan.
Momen Hari Raya Idul Adha tak mengubah pesanan tusuk sate yang ia terima. Penghasilannya tentu jauh dari kata cukup. Beruntung sang suami masih mampu membantu ekonomi rumah tangganya dengan bekerja serabutan. Meski begitu, Tumiarsih tetap bertahan 40 tahun dengan bisnis ini.
"Karena tidak ada pekerjaan lain, kerja di sawah malah berat," ujarnya.
Tumiarsih berharap mendapatkan bantuan mesin produksi tusuk sate dari pemerintah. "Ingin ganti mesin, tapi tak mampu beli. Harga bekasnya Rp 3,5 juta untuk proses pemotongan, serut sampai meruncingkan," ungkapnya.
Selain Tumiarsih, Suwaji (67) juga menjadi perajin tusuk sate tradisional yang tersisa di Dusun Tangunan. Bapak 2 anak ini memulai usaha ini sejak 1994 silam, setelah puas merantau menjadi buruh pabrik kayu dan baja di Kalsel, Gresik, Surabaya, Jakarta sejak 1979.
"Karena tidak ada pekerjaan lain, usaha lainnya butuh modal besar," terangnya.
Suwaji juga memproduksi tusuk sate ayam dan kambing berbahan bambu duri. Setiap bambu seharga Rp 25.000 menghasilkan 15.000-20.000 biji tusuk sate. Sedangkan bambu yang lebih kecil seharga Rp 15.000 menghasilkan 5.000-10.000 biji tusuk sate.
Dibantu istrinya, Luluk Khoyumi (60), Suwaji rata-rata menghasilkan 5.000 biji tusuk sate ayam dan kambing per hari. Mulai dari memotong bambu dan mencacahnya menjadi bilah-bilah kecil ia kerjakan secara manual. Selanjutnya bilah bambu dihaluskan dengan mesin serut kecil.
Mesin serut bertenaga listrik ini juga masih sangat sederhana. Setelah dijemur sampai kering, bilah bambu diruncingkan menggunakan gerinda berpenggerak dinamo listrik. Terakhir, tusuk sate diperhalus secara manual. Yaitu dibungkus ban bekas, lalu ditekan dan digulung dengan papan kayu.
![]() |
"Sebelum diruncingkan, tusuk sate harus dijemur sampai kering supaya tidak berjamur," jelasnya.
Ukuran dan harga jual tusuk sate kambing dan ayam bikinan Suwaji seragam dengan produk Tumiarsih. Hanya saja, pesanannya datang dari warung sate di Sroyo, Dlanggu 60.000 biji/bulan, warung nasi bebek Tangunan 15.000 biji/bulan, serta pengusaha katering 10.000 biji/bulan.
"Pernah dapat permintaan untuk dikirim ke London (Inggris), sehari 5 karung. Saya tolak karena saya tidak mampu," ujarnya.
Tusuk sate buatan Tumiarsih dan Suwaji masih diminati sebab lebih halus, rapi, kuat dan bebas bahan kimia. Sayangnya, kapasitas produksi mereka sangat minim tanpa bantuan mesin modern. Suwaji optimis apabila mendapatkan bantuan mesin serut, mampu menghasilkan 15.000 biji tusuk sate/hari.
"Bansos uang dan beras tidak bisa mengangkat kemiskinan, malah ongkang-ongkang kaki. Lebih baik (orang miskin) dibantu mesin untuk bekerja dan bisa berkembang," tandasnya.
(auh/hil)