Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengembangkan lahan bekas tambak udang jadi cuan puluhan miliar rupiah dari budi daya ikan nila salin.
Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia Sakti Wahyu Trenggono menuturkan, pihaknya telah menggarap modeling klaster budidaya nila salin di Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budi Daya (BLUPPB) Kecamatan Cilebar, Kabupaten Karawang baru-baru ini.
"Pembangunan modeling ini merupakan upaya kami dengan masyarakat tani, dalam rangka meningkatkan produksi ikan nila nasional, ini juga menjadi salah satu komoditi strategis yang bisa menjadi andalan Indonesia di pasar internasional," ujar Wahyu, usai pelepasan benih ikan nila salin di BLUPPB Cilebar, Kabupaten Karawang, Jumat (2/2/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menuturkan, awalnya lahan yang digunakan merupakan bekas tambak udang yang dibangun pada masa orde baru, sejak program tidak berjalan lahan tambak udang tersebut terkontaminasi, sehingga menjadi aset negara tanpa fungsi selama puluhan tahun.
"Ini adalah bekas tambak udang yang sudah tidak berfungsi dengan baik yang dibangun pada orde baru, sudah terkontaminasi, sekarang kita mencoba untuk memperbaharui dan menggunakan tambak ini sebagai lokasi budi daya ikan nila salin," kata dia.
Baca juga: Jejak Cinta di Gang RS Mata |
Wahyu mengungkap, modeling klaster budi daya ikan nila salin di Karawang dikerjakan di lahan seluas 36 hektare, yang rencananya akan diperluas menjadi 44 hektare.
"Ini sementara ada 36 hektare, ikan nila salin ini kan biasa dibudi daya di air tawar. Tapi kita coba modifikasi menggunakan air payau, hasilnya bagus dan bisa panen dalam siklus lebih cepat," ucapnya.
Wahyu menjelaskan, total investasi yang dikeluarkan untuk biaya pembangunan dan budi daya selama satu siklus, mencapai puluhan miliar rupiah dan diperkirakan balik modal dalam dua tahun.
"Total investasi dari mulai pembangunan, sampai budi daya 1 siklus itu mencapai Rp76 miliar, dan berdasarkan hitung-hitungan kami bisa balik modal dalam 2 tahun, atau setelah 3 siklus," kata Wahyu.
Dirinci Wahyu, budi daya ikan nila salin dengan total investasi sebanyak Rp76 miliar, di lahan seluas 36 hektare, rata-rata hasil budi daya dalam siklus satu kali panen atau 7-8 bulan menghasilkan 7.070 ton.
"Jadi hasil total satu siklus 7.070 ton, untuk hitung-hitungan rata-rata 1 kilogram per 1 ikan, di sini ada 36 hektare, jadi di angka 87,7 ton per hektare, kalau profit kita hitung untung jika harga termurah Rp25 ribu, bisa dapat profit Rp5.500 perkilogram, atau mencapai Rp38,8 miliar persiklus, ini untung yang cukup menjanjikan terutama bagi para petani," tuturnya.
Dengan hasil tersebut, kata Wahyu, klaster budi daya ikan nila salin ini, memiliki potensi nilai pasar internasional yang cukup tinggi, yakni mencapai 13,9 miliar USD.
"Ini kita lihat beberapa negara seperti Vietnam, Filipina, mereka sudah memulai, karena klaster budi daya ikan nila salin memiliki potensi pasar internasional yang cukup menjanjikan, mencapai 13,9 miliar dollar. Kedepan program ini diharapkan jadi salah satu sumber ekonomi hijau dalam negeri," papar Wahyu.
Wahyu juga menceritakan, saat ini terdapat sekitar 78.000 hektare lahan bekas budi daya udang yang tidak berfungsi di wilayah Pantura, dan akan dimanfaatkan untuk budi daya tilapia terutama jenis ikan nila salin.
"Ada sekitar 78 ribu hektare di Pantura yang saat ini tidak berfungsi dengan baik. Saya kira pemerintah bisa, pemerintah turun tangan untuk memodifikasi menjadi lahan budi daya yang produktif," lanjutnya.
Karena, kata Wahyu, ikan nila salin diklaim lebih tanah lama dan tahan penyakit di area tambak wilayah Pantura, dibandingkan udang, karena kondisi perairan Pantura sudah mulai terkontaminasi seiring banyaknya limbah-limbah pabrik.
"Jika program ini bisa berjalan dengan baik, kita kembangkan ke seluruh pantura maka diprediksi akan ada hasil sekitar 2 juta ton per siklus, sehingga punya nilai ekspor yang cukup tinggi, khususnya bagi para petambak atau petani," pungkasnya.
(yum/yum)