Jalan Cihideung Balong merupakan jalan arteri di Kota Tasikmalaya. Jalan satu arah ini menjadi salah satu akses menuju pusat kota dari arah barat Tasikmalaya.
Bagi sebagian besar masyarakat Tasikmalaya, kawasan ini memiliki satu ikon yang khas. Sepanjang Jalan Cihideung Balong ini adalah sentra penjualan VCD atau DVD bajakan.
Ratusan pedagang VCD berderet memadati trotoar. Dentuman musik terdengar riuh, seperti sedang adu kencang suara satu sama lain. Terkadang para pembeli yang berjubel sampai harus berteriak-teriak saat berkomunikasi dengan pedagang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kawasan Cihideung Balong sendiri menjadi salah satu simpul ekonomi sektor informal beromzet puluhan bahkan ratusan juta rupiah per hari. Namun itu dulu, kini suasana jalan Cihideung Balong berubah drastis. Sepi dari transaksi penjualan VCD, sunyi dari suara dentuman musik pemikat calon pembeli.
"Sudah tinggal kenangan, sekarang mah sepi," kata Sandi Acong (38), satu dari empat pedagang VCD/DVD yang masih tersisa di Jalan Cihideung Balong, Rabu (1/2/2023).
Sandi mengaku berjualan VCD/DVD di zaman sekarang sudah tak bisa diandalkan sebagai sumber penghasilan utama. Dalam sehari bisa menjual 10 keping saja sudah luar biasa. Menjual 10 keping berarti tak sampai Rp 100 ribu, karena harga jual VCD Rp 6 ribu dan DVD Rp 8 ribu.
"Sudah tak bisa diandalkan, saya bertahan karena terbantu oleh berdagang kopi dan makanan kecil. Kebetulan posisi jualan saya di depan klinik kesehatan jadi sedikit terbantu," kata Sandi.
![]() |
Kondisi saat ini sangat kontras jika dibanding dengan situasi pada masa keemasannya, tepatnya saat awal tahun 2000-an. Dulu di Jalan Cihideung Balong ini terdapat lebih dari 100 pedagang VCD/DVD.
Trotoar di kiri dan kanan jalan penuh oleh pedagang. Rumah atau toko yang berada di pinggir jalan pun ikut berubah jadi penjual VCD. Pembeli datang silih berganti, bahkan parkirannya kerap menimbulkan kemacetan.
"Dulu dalam sehari bisa dapat Rp 3 juta, kalau momen tertentu bisa sampai Rp 5 juta, bahkan lebih. Misalnya kalau libur sekolah, Lebaran, ada lagu atau film hits," kata Sandi.
Kala itu banyak pedagang yang sampai mampu mempekerjakan karyawan. "Banyak yang punya anak buah, kerjanya dibagi dua shift, pagi dan sore, Masing-masing shift dua orang. Sementara yang punya lapak fokus belanja barang ke Bandung atau Jakarta, selebihnya ongkang-ongkang, jadi bos kecil," kenang Sandi.
Sandi mengatakan penurunan penjualan VCD dan DVD mulai terasa sekitar tahun 2015, sebelum akhirnya dihempaskan pandemi COVID-19.
"Penyebabnya kemajuan teknologi. Mau lagu mau film sekarang tinggal download di ponsel. Terasa mulai 2015 penjualan terus turun sampai akhirnya ada pandemi, bangkrut," kata Sandi. Dia menambahkan masyarakat saat ini pun sudah jarang yang masih memiliki pemutar VCD/DVD.
Mayoritas para pedagang VCD di Jalan Cihideung Balong akhirnya alih profesi. Barang dagangan mereka yang masih tersisa kemudian dijual ke loak. "Barangnya dikilo ke tukang loak. Saya juga kemarin baru menjual, barang yang macet dan barang yang sudah usang. Satu kilo laku Rp 8 ribu," kata Sandi.
Sandi mengaku pasrah karena kemajuan zaman sulit untuk dilawan. "Pasrah saja, susah melawan kemajuan zaman. Setiap zaman ada orangnya setiap orang ada zamannya," kata Sandi.
Lusi Nurasiah (40) warga Kecamatan Indihiang Kota Tasikmalaya mengaku beberapa tahun lalu sempat menjadi pelanggan beberapa pedagang VCD/DVD di Jalan Cihideung Balong.
"Saya kan suka Drakor (drama Korea), dulu sampai punya nomor ponsel pedagang DVD di Cihiba (Cihideung Balong). Kalau ada serial yang baru dia mengabari. Sekarang mah sudah enggak, karena tinggal download, di grup Telegram banyak," kata Lusi.
Selain itu Lusi juga mengaku dirinya sudah tak punya pemutar DVD, sehingga tak pernah lagi shopping ke Jalan Cihideung Balong.
(yum/orb)