Upah Minimum Provinsi (UMP) Jawa Barat tahun 2023 telah ditetapkan naik sebesar Rp 145.182,86 atau 7,88 persen dari tahun 2022. Dengan begitu UMP Jabar tahun depan menjadi Rp 1.986.670,17.
Besaran UMP itu ditetapkan lewat Keputusan Gubernur (Kepgub) Jabar Nomor 561/Kep.752-Kesra/2022. Kenaikan UMP itu juga berdasarkan perhitungan Permenaker 18/2022.
Dalam Permenaker itu, rumus penghitungan kenaikan UMP didapat dengan melihat tingkat inflasi Jabar (6,12 %) ditambah laju pertumbuhan ekonomi (5,88%) dan dikali faktor alfa sebesar 0,3 persen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Soal kenaikan UMP Jabar, Yudo Anggoro selaku Direktur Center for Policy and Public Management Sekolah Bisnis Manajemen (SBM) Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan harus dilakukan dialog untuk menentukan besaran UMP termasuk Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) nanti.
"Menurut saya perlu ada dialog antara pengusaha, pemerintah dan pekerja dalam hal ini karena tentu pemerintah ketika menetapkan kenaikan UMP ada dasarnya. Dasarnya ada ekonomi, inflasi, tetapi ketika itu dilakukan tanpa berdialog dengan pengusaha akan jadi kontraproduktif. Jadi perlu ada dialog," kata Yudo, Selasa (29/11/2022).
Ia pun menanyakan penetapan kenaikan UMP Jabar sebesar 7,88 persen itu apakah hasil dialog antara tiga pihak yang disebutkan di atas. Sebab jika tidak, maka ada kemungkinan para pengusaha akan protes soal ketentuan UMP tahun 2023 nanti.
"Kemudian dari situ perlu ditetapkan formula yang disepakati antara ketiga itu, karena kalau dinaikkan 7,88 persen ini pengusaha bisa protes semua karena akan membebani mereka. Makanya perlu dialog," ujarnya.
Menurutnya, kenaikan UMP sebesar 7,88 persen termasuk yang tinggi jika melihat dari angka inflasi. Yudo mengungkapkan akan ada perusahaan yang merasa diberatkan dengan kenaikan tersebut.
"Kalau menurut saya dilihat inflasinya, secara nasional kalau tidak salah mendekati 6 persen, jadi menurut saya ini pasti akan memberatkan pengusaha, baiknya memang sesuai, kalau naik pun sesuai inflasi supaya tidak memberatkan juga," katanya.
Meski begitu, ia tak memungkiri jika pekerja tentunya ingin mendapat upah yang lebih tinggi dari tempat dia bekerja. Yudo juga sepakat jika UMP harus naik mengingat kondisi ekonomi yang belum stabil pasca badai pandemi.
Dengan menaikkan UMP menurutnya dapat menjaga daya beli masyarakat menjadi turun dan menghambat laju ekonomi.
"Karena pasti pekerja ingin memaksimalkan penghasilan, tapi tentu mesti ada hitungannya. Saya juga sepakat kalau ada kenaikan karena faktor ekonomi untuk mencegah daya beli masyarakat turun. Tapi kenaikannya harus disesuaikan dengan inflasi, kedua didiskusikan juga supaya disepakati semua pihak," ucap Yudo.
"Dari pengusaha juga harus memaklumi adanya kondisi ekonomi sulit pasti akan menurunkan daya beli jadi kenaikan upah untuk menjaga konsumsi apalagi ekonomi kita di-suport oleh konsumsi sebagian besar jadi sektor konsumsi harus dijaga agar ekonomi jalan," lanjutnya.
Di sisi lain, kenaikan UMP dan nantinya disusul UMK pada 2023 mendatang berpotensi membuat perusahaan akan melakukan penyesuaian seperti membebani cost lebih ke konsumen hingga pengurangan tenaga kerja.
"Itu kan mulainya per 1 Januari 2023, kalau memang ini jadi kewajiban, pengusaha pasti akan melakukan penyesuaian, misal akan dibebankan malah pada konsumen hingga inflasi naik lagi. Kemudian bisa jadi akan memicu pada pengurangan pekerja," ujarnya.
"Karena ini sebagai antisipasi kalau upah naik cost nya juga harus bisa mencukupi jadi salah satunya akan ada pengurangan. Ini pemerintah juga perlu jaga ya, karena lagi-lagi ekonomi ditopang konsumsi jangan sampai masyarakat lebih miskin lagi. Jadi (kenaikan UMP) berdampak pada masyarakat, buruh dan pengusaha," tutur Yudo.
(bba/dir)